Kisah pertama. Kisah kedua. Kisah ketiga. Kisah keempat. Kisah kelima. Kisah keenam. Kisah ketujuh. Kisah kedelapan. Kisah kesembilan. Kisah kesepuluh. Kisah kesebelas. Kisah kedua belas. Kisah ketiga belas. Kisah keempat belas. Kisah kelima belas.
Aku
menatap layar komputer yang sekarang menjadi teman terbaikku setiap
hari. Tercenung lama dan bingung. Bagaimana dengan targetku
selanjutnya. Banyak target tercapai tapi hingga hari ini ada target
yang masih mengambang. Aku ingin menikah. Menjadi seorang istri. Lalu
orang yang sempat aku pilih menjadi orang yang paling menyebalkan.
Aku lelah. Bertanya padanya setiap hari. Menanyakan kapan dia akan
menikahiku. Usiaku sudah mendekati angka 27 waktu itu dan dia sendiri
sudah mendekati 38. Sama-sama usia yang terlalu matang untuk
menunggu.
Lalu
dia hanya diam kemudian tersenyum. Mengiyakan tidak. Menidakkan juga
tidak. Tapi itu menyebalkan. Sampai kapan aku akan sendirian terus.
Aku lelah, ingin rasanya mulai menghabiskan waktu bersama seseorang
yang menjadi imamku seumur hidup nantinya. Aku ingin marah tapi
lidahku kelu. Dia terlalu lembut untuk aku semprot dengan semua rasa
kecewaku. Setahun lebih bersama dan dia masih tak bisa memutuskan
untuk menjadi suamiku atau tidak? Kamu gila!
Namun
itu kemudian yang aku sebut menjadi kenyataan. Sepupunya terlanjur
menjelek-jelekkanku di depan keluarga besarnya. Mereka murka dan tak
mau menerima keberadaanku sebagai bagian dari keluarga mereka. Itu
yang paling menyesakkan. Apa salahku sehingga aku dianggap tidak
layak untuk menjadi istri anak lelaki ibu itu yang hingga usianya
hampir mendekati kepala 40 tetap saja tidak diterima? Aku tidak akan
menunggu lebih lama untuk mendengar kata-kata bahwa dia tak akan
pernah menikahiku.
Aku
perempuan dan aku butuh kepastian. Dia tak bisa terus memintaku
menunggu tanpa kepastian. Aku lelah. Lelah hati dan jiwa. Dia lelaki
dan mudah saja baginya untuk menolak atau melamarku. Itu yang aku tak
suka. Dia tak seharusnya membiarkan aku menunggu. Kalau memang tidak
mau katakan saja. Kalau mau silakan segera lamar aku kepada orang
tuaku. Toh orang tuaku tak rewel mengenai calon menantunya. Cukup
bukan PNS, bukan polisi, dan bisa mengajariku tentang agama.
Kekurangan
yang ada akan selalu diterima. Tetapi malah sebaliknya keluarganya
yang terlalu rewel untuk menerima perempuan semuda itu menjadi
menantunya. Aku patah semangat. Ketika pada akhirnya dia mengatakan
dia tak pernah bisa memberikan kepastian apa-apa. Aku mundur dengan
hati terluka. Tetapi dengan sebuah keyakinan bahwa ada bahagia lain
yang menantiku di sana. Di hati orang lain. Orang yang mau menerima
segala yang aku punya dan tidak. Tanpa banyak syarat untuk
menjadikanku bagian dari keluarga mereka.
Lagi-lagi
layar komputer itu terdiam di depanku. Ingin rasanya aku melemparkan
semuanya ke layar komputer itu menuntaskan segala amarahku. Tetapi
saat mengingat kembali bahwa itu akan mubazir saja, aku menahan
amarahku dan memilih untuk menulis lagi dan terus menulis.
Menyalurkan semua energi buruk yang kumiliki.
Semudah
itu mematahkan hatiku tapi aku akan dengan mudah merekatkannya
kembali. Aku akhirnya menyerah lalu berbaring dan menatap
langit-langit kamarku. Kemudian memejamkan mata. Mencoba mengingat
kembali hal-hal yang pernah menjadi hal yang aku sebut dengan
kenangan yang menyenangkan. Entah sampai berapa lama aku hanya
terjebak pada target yang tak kunjung aku dapatkan. Aku hanya ingin
menikah. Menjadi seorang istri. Memiliki keturunan beberapa anak yang
lucu.
Banyak
hal yang merusak semua yang aku targetkan sebelumnya. Aku hampir
kehabisan waktu dan aku sudah tak peduli lagi aku hanya ingin menikah
dan akan menerima siapa pun yang menyiapkan cincin untukku dan
melamarku di depan orang tuaku nantinya. Itu yang aku sematkan di
dalam kepalaku.