“Kamu
serius dengan ucapanmu?”
“Iya.”
Jawaban
singkatnya itu terlalu mudah untukku. Rasanya tidak mungkin ini
terjadi. Apakah ini hanya mimpi? Mimpi yang terlalu nyata untuk
dikatakan sebagai mimpi.
“Tapi....”
“Tapi
apa?”
“No
ring no wedding.”
“Kamu
mau cincin?”
“Tentu
saja, sebagai bentuk kalau kamu memang serius ingin melamarku.”
“Tidak
sekarang.”
“Kalau
tidak, batal aja deh.”
Dia
mempermainkanku.
“Kalau
cincin perak mau?”
“Nggak
usah peraklah, emas dong.”
“Cincin
emas kan buat akad nikah?”
“Ya
sudah gelang saja.”
“Gelang
apa?”
“Apa
aja boleh, besok belikan di Jalan Pattimura.”
Aku
rasanya tak percaya sedang terlibat obrolan seperti ini dengan gadis
pujaan hatiku. Aku berusaha menguasai diri dan mengganti topik
pembicaraan.
“Oke
deh... kamu masih belum bisa tidur?”
“Masih
dingin.”
“Memangnya
selimut kamu di mana?”
“Sedang
dilondry.”
“Mau
aku antar selimutku?”
“Boleh.”
Lagi-lagi
jawaban singkatnya yang cepat itu membuatku tak berkutik. Perempuan
ini benar-benar menjatuhkanku dengan telak dan aku tak mampu mengelak
untuk tidak jatuh cinta padanya.
“Aku
akan mengantarnya. Tunggu ya.”
“Oke.”
Pukul
3 pagi lewat sedikit. Aku masih merasakan rintik-rintik hujan. Tapi
aku tak peduli. Aku ingin melihat wajahnya sekali lagi dan meyakinkan
bahwa aku tidak sedang bermimpi. Untuk pertama kalinya ada perempuan
yang menerima lamaranku. Aku ingin melihat alisnya yang indah itu
sebelum aku tidur. Perempuan itu berjalan terhuyung ke depan pagar
gedung kantornya. Dia menerima tas berisi selimut yang aku berikan
lalu kembali masuk ke pintu kiri gedung tersebut. Aku lalu pulang dan
yakin memang tak sedang bermimpi.