Malam
itu dingin. Karena hujan memang turun sejak sore. Bahkan waktu aku
mengantarkannya pulang langit masih menurunkan rintik-rintik yang
menyentuh kulit wajahku. Padahal aku sudah mengenakan helm dan
melindungi wajahku dengan kaca helm. Tetap saja hujan itu berhasil
menembus pertahananku. Saat aku tiba di rumah aku meraih ponselku.
Menimbang-nimbang apakah aku harus melamarnya atau tidak. Perempuan
itu. Perempuan dengan alis indahnya yang selalu membayangi
malam-malam sebelum tidurku. Dia memang berhasil mencuri perhatianku.
Perhatian yang biasanya terbagi untuk banyak perempuan yang sedang
kudekati. Sekarang hanya miliknya. Dia yang baru tiga kali kutemui.
“Sudah
tidur?”
Aku
mengirimkan pesan ke Whatsappnya. Berharap dia membalas dan mau
menjawabnya tanpa kejutekannya.
“Belum,
dingin sekali di sini.”
“Maaf
ya kalau tadi aku bau, memang belum mandi sepulang kerja.”
“Tak
mengapa, aku sendiri juga bau kok, aku lupa pake deodorant sejak
pagi.”
Dari
kata-katanya aku membaca dia senyumnya. Senyum malu-malu yang
sesekali dia tunjukkan padaku, semakin membuatku gemas.
“Kamu
mau nggak nikah sama aku?”
Aku
langsung mengatakan tentang isi hatiku padanya. Aku tak peduli dia
menolakku. Tambahan satu penolakan lagi aku tak akan mati. Sudah
banyak perempuan yang menolak lamaranku dan apabila perempuan ini
juga mengatakan tidak, aku sudah tidak akan terlalu jatuh lagi. Aku
sudah terlalu banyak ditolak. Bahkan perempuan yang sempat menjadi
kekasihku enggan menikah denganku. Aku yang memang bukan PNS seperti
harapan banyak orang tua yang ada di dunia ini, tentu bukan calon
menantu yang akan diinginkan oleh mereka.
Aku
menunggu dia mengatakan 'iya', walaupun 'tidak'-nya jauh lebih besar.
“Boleh.”
Dia
mengatakan 'boleh'? Jawaban yang berbeda dari yang aku
pikirkan tapi bukankah ini awal dari sebuah iya?
“Beneran?”
“Iya,
boleh kok. Mari kita menikah.”
Seandainya
aku bisa melompat setinggi-tingginya karena senang, aku bisa mencapai
langit lapisan ketujuh bahkan menembus sampai ke surga. Bagaimana
tidak? Dia yang baru saja kukenal tiga hari menerima lamaranku. Dia
tahu soal pekerjaanku. Pendidikanku yang jauh di bawahnya. Apalagi
dia seorang perempuan yang sangat cerdas dan cantik. Kemungkinan dia
menerimaku itu hanya seperti pungguk yang merindukan bulan. Tidak
mungkin dia mau. Itu selalu yang aku pikirkan. Tapi sekarang dia
mengatakan boleh. Girangnya hatiku.