Kisah pertama. Kisah kedua. Kisah ketiga. Kisah keempat. Kisah kelima. Kisah keenam. Kisah ketujuh. Kisah kedelapan. Kisah kesembilan. Kisah kesepuluh. Kisah kesebelas. Kisah kedua belas. Kisah ketiga belas. Kisah keempat belas.
Perempuan
itu duduk di sampingku. Menatap dengan asing semua orang yang ada di rumah
ibuku. Perempuan yang telah melahirkanku. Tak banyak bertanya. Dia hanya
mengiyakan satu kali melihat perempuan beralis indah itu. Aku tahu, tak ada
yang mampu menolak pesonanya. Pancarannya begitu kuat dan membuat setiap mata
akan silau dibuatnya. Dia terlihat mencoba tetap tenang dengan mengatur napasnya
dan tetap tersenyum sepanjang waktu.
“Hani
siap menikah tanggal berapa?”
“Tanggal berapa?” Perempuan itu mengulang
pertanyaan ibuku. Seakan dia sendiri salah mendengar pertanyaan dari perempuan
yang selama ini selalu menunggu aku membawa seorang perempuan yang akan
kujadikan istri duduk di sini. Di ruang tamu ini. Dengan beberapa kursi jati
yang mengkilat cokelatnya.
“Tanggal
9 November saja. Habis tahun baru Islam.” Kakak perempuanku yang nomor dua
menyambar.
Perempuan
itu melempar senyuman tenangnya. Penenang setiap wajah yang menatapnya. Dia terlihat
berbeda. Tidak seperti perempuan yang kulamar. Saat aku melamarnya dia menjawab
dengan yakin dan cepat. Seakan tak butuh memikirkannya lebih dalam. Lebih cepat
dari menjawab pertanyaan berapa hasil satu ditambah dengan satu yang biasa
kuajukan pada keponakanku.
“Tanggal berapa pun tak masalah.” Dia
menjawabnya dengan wajahnya yang manis. Wajah dinginnya hilang. Dia seakan-akan
punya kepribadian yang dengan mudah dia ganti dan tampilkan di wajahnya. Sedikit
menakutkan dia bsia mengubah ekspresinya dalam hitungan detik. Apakah dia
memang sudah terlatih melakukan itu semua?
“Lebih
baik kita bicarakan dengan keluarganya dulu, jangan dari pihak kita yang
menentukan semuanya.”
“Ibu di kampung orangnya nggak cerewet kok,
dia terima saja.”
Cara
dia menyebut ibunya, seperti dia asing dengan perempuan yang telah
melahirkannya. Tapi apakah memang semudah itu menentukan tanggal pernikahan? Apakah
ibunya sama mudahnya untuk dihadapi seperti dirinya? Keluarganya seperti apa? Sebab
selama ini keluargaku tak terlihat sedingin itu menyebut orang tuanya. Dia dingin
sekali saat menyebut ‘ibu’ dengan bibirnya yang sedikit bergetar.
“Tapi
tetap kami harus bertemu dengan keluarga Hani.”
Perempuan
itu membeku. Dia tak menyahut. Saat dia mengatakan dia menerima lamaranku dia
penuh dengan semangat. Tetapi saat keluargaku meminta keluarganya untuk bertemu
dia terdiam. Sedikit tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Dia berusaha menyembunyikan
sesuatu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Siapa dia sebenarnya. Bagaimana keluarga
yang membesarkan. Seperti apa kehidupannya. Aku hanya mengenalnya beberapa hari
yang lalu. Beberapa hari. Waktu yang terlalu singkat untuk membaca 27 tahun kitab
kehidupan yang dia miliki. Aku menarik napasku panjang dan menikmati
pemandangan indah alisnya yang bergerak sedikit.