Sudah
beberapa bulan terakhir ini saya menemukan orang-orang yang hidupnya tanpa
rumah. Saya sendiri memang hidup menumpang. Tetapi setidaknya saya masih bisa
bersyukur, sangat bersyukur, masih tinggal di dalam ruangan yang layak untuk
disebut sebagai rumah. Tak ada khawatir saat hujan atau panas. Karena saya
tinggal di sebuah ruangan di gedung tempat saya bekerja. Tak begitu besar.
Cukuplah untuk saya melepaskan lelah dan ngeblog setiap harinya. Satu-satunya
tempat yang selalu saya duduki ya tempat tidur yang ada di lantai, di sini pula
saya makan dan mengetik. Karena bagian lainnya sudah sesak oleh lemari.
Dibandingkan
saya masih banyak lagi orang yang tak memiliki tempat tinggal. Bagian yang paling
miris adalah saya melihat serombongan, sekeluarga, ada ayah, ibu, dan banyak
anak, menjadi manusia gerobak. Mereka tinggal di gerobak, berdesakan dengan
barang-barang yang mereka bawa. Sayang saya tak mengabadikan foto anak-anak
mereka yang tadi sore mandi di kali. Saya tak tega melihatnya. Bagaimana saya
tega mengambil gambar beberapa anak manusia gerobak itu yang sedang berenang
dengan riangnya dengan tubuh kurus mereka di kali yang airnya menghitam.
Benar-benar pekat. Karena memang air sedang surut. Tak dapat saya bayangkan bau
menyengat mereka setelah selesai mandi nanti.
Jangankan
buat mandi dengan air bersih. Makan pun rasanya mereka sulit. Saya hanya
bingung, bagaimana mereka bisa berakhir menjadi manusia gerobak? Sekeluarga
pula? Di tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan. Memang sih, kata
orang, sesakit-sakitnya hidup di Kalimantan Barat, masih bisa makan nasi. Tapi
apakah mereka benar-benar bisa makan?
Apa
memang mereka sengaja memilih kehidupan sebagai manusia gerobak dan
meninggalkan semua kemewahan atau kemewahan itu memang tidak pernah mampir
untuk menyapa mereka? Saya tidak tahu. Karena menyakitkan melihat keadaan
mereka.
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).