Bujang
Nadi seorang pangeran dari Kerajaan Sambas sudah lama meninggal
dunia. Demikian pula sang puteri, Dare Nandong. Mereka berdua
bersaudara. Bujang Nadi abangnya dan Dare Nandong adiknya. Ayah
mereka Raja Tanunggal. Akhirnya saya berkesempatan untuk mengambil
gambar gerbang makam mereka. Sedangkan makamnya yang berada di atas
bukit tak berani saya datangi karena saya sendirian. Makamnya sepi
dan sedikit menyeramkan.
Dulu
waktu kami mendatanginya beramai-ramai kami disambut oleh suara kokok
ayam jantan sepanjang kami menatapi tangga menuju makam tersebut yang
lebih mirip dengan sumur. Memang awalnya mereka itu dimasukkan ke
sumur hingga akhirnya meregang nyawa. Saat sampai di atas kokok ayam
jantan itu berhenti tiba-tiba. Percaya atau tidak, kami berempat
memang mendengar kokok ayam tersebut dan sama sekali tak berani
menyinggung bunyi yang kami dengar.
Sebab
ayam jantan melambangkan Bujang Nadi yang dimasukkan ke dalam sumur
bersama sebutir telur. Kabar dari mulut ke mulut mengatakan bahwa
jika kita mendengar bunyi kokok ayam jantan, itu menandakan Bujang
Nadi masih hidup. Sedangkan sang puteri, Dare Nandong dimasukkan ke
dalam sumur yang sama dengan sebuah alat tenun. Sehingga saat kita
mendengar bunyi alat tenun yang sedang digunakan itu menandakan bahwa
sang puteri masih lagi bernyawa.
Tak
ada yang tahu kapan tepatnya mereka meninggal dunia setelah
dimasukkan ke dalam sumur yang dalam tersebut oleh sang ayah, Raja
Tanunggal. Semua tragedi ini terjadi hanya karena salah paham sang
ayah yang percaya pada omongan perdana menteri yang mengatakan bahwa
kedua anaknya saling mencintai dan cinta yang mereka bangun adalah
cinta yang terlarang karena mereka berdua saudara sekandung. Padahal
perdana menteri itu hanya ingin menghancurkan Raja Tanunggal termasuk
keturunannya.
Raja
Tanunggal memang dikenal sebagai raja yang lalim dan kejam. Hingga
fitnah terhadap kedua anaknya pun dibuat oleh perdana menteri.
Awalnya perdana menteri hanya tak sengaja mendengar obrolan dua
bersaudara yang tak dibolehkan keluar dari istana. Mereka dilarang
bergaul dengan orang lain, sehingga Bujang Nadi hanya berteman dengan
adik perempuannya, Dare Nandong. Waktu itu Dare Nandong menanyakan
kepada saudara laki-lakinya.
“Bang,
pun abang kalak nak bebini, bini macam apelah yang abang maokkan?”
(Bang, jika nanti abang beristri, istri seperti apa yang abang
inginkan?)
“Tantunye
macam adek abanglah canteknya.” (Tentunya yang seperti adiklah yang
abang inginkan cantiknya)
Lalu
Bujang Nadi membalikkan pertanyaan adiknya.
“Pun
adek, kalak belaki, laki macam ape yang adek maokkan?” (Kalau adik,
nanti bersuami, suami seperti apa yang adik inginkan?)
“Yang
macam abanglah bang.” (Yang seperti abang dong bang)
Kira-kira
demikianlah maksud dari percakapan mereka. Maklum cerita ini
dilisankan dari orang tua ke anak-anaknya. Saya mendengarnya saat
masih duduk di bangku sekolah dasar.
Perdana
menteri yang mendengarkan obrolan dua bersaudara tersebut lantas
menuduh mereka berpacaran dan ingin menikah. Disampaikannya pada Raja
Tanunggal. Raja yang malu langsung murka. Tanpa usul periksa, dia
meminta rakyatnya menyiapkan sumur di sebuah bukit untuk menguburkan
kedua anaknya. Hidup-hidup.
Anaknya
memohon agar ayahnya mendengarkan penjelasan mereka. Tapi amarah
Tanunggal sudah di ubun-ubun. Dia tak peduli. Dia mengambil keputusan
tersebut dan tak mau menarik kembali. Dua anaknya yang tak bersalah
tersebut pun dimasukkan ke dalam sumur dengan perbekalannya
masing-masing, dua bersaudara dalam sumur yang sama. Mati di lubang
yang sama.
Awalnya
dulu sumurnya belum ditimbun, masih menganga dan benar-benar seperti
sumur. Sekarang sudah tertutup tanah. Hanya tersisa tali yang
mengarah ke atas yang mengikat lantai yang digunakan untuk menurunkan
dua anak tak berdosa tersebut ke bawah sumur. Tali tersebut terikat
ke kayu yang melintang di atas tiang sumur. Hingga sekarang, sumur
itu masih ada dan disebut sebagai “Keramat Bujang Nadi Dare
Nandong”. Tragedi dua saudara yang mati karena kemurkaan ayahnya
dan fitnah keji sang perdana menteri.