Aku menjatuhkan diriku ke air. Berpura-pura tenggelam
beberapa kali dan membiarkan Fadli membantuku. Membantu mantan atlit renang di
sekolah. Beberapa kali kami bertemu pandang. Aku tahu dia akan jatuh pada
tatapan mataku. Dia akan tergila-gila padaku dan aku akan bisa menyelesaikan
semua deadlineku.

Kami kelelahan dan akhirnya duduk di pinggiran pantai dengan
tubuh yang masih basah.
“Awalnya aku pikir di sini tidak ada indah-indahnya, tapi
ternyata indah sekali, mungkin karena ada kamu, Fadli.”
Aku mulai melancarkan rayuan mautku. Tiba-tiba Fadli
menggenggam tangan kiriku tanpa kata-kata. Sepertinya aku berhasil. Aku membalas
genggaman tangannya sambil tersenyum. Kami menatap matahari senja yang hampir
menghilang di langit yang semakin memerah.
Saatnya untuk pulang. Selama berjalan menuju rumah singgah
tempat kami menginap pegangan tangan kami tak sekali pun terlepas. Aku sudah
tak sabar ingin mencatat semua yang terjadi hari ini dan menyelesaikan novelku.
Wajah Tiara yang senang sudah terbayang di pelupuk mataku.

Kami berpisah depan pintu kamarku. Fadli tak mengucapkan
sepatah kata pun. Dia hanya mengusap rambutku sambil tersenyum. Aku yakin
banyak perempuan akan tergila-gila diperlakukan selembut itu. Berdua di rumah
ini dan dia hanya mendaratkan tangannya di kepalaku.
Jika itu adalah jurus yang dia lakukan untuk membuat aku
jatuh cinta padanya, dia salah besar. Aku tak akan jatuh lagi. Ketika aku
selesai mengerjakan novel ini, selesai pulalah ‘cinta’ yang aku tunjukkan pada
Fadli.

Buru-buru aku mengambil pulpen dan buku dari dalam tasku. Aku
pikir aku tak akan menggunakannya di sini. Namun ternyata Tiara benar
menyiapkan alat tulis untukku. Sedikit menyesal tak membawa laptopku. Padahal seharusnya
aku bisa menyelesaikannya lebih cepat dengan mengetiknya.

Sebaiknya aku beri judul apa novel ini?