Ryan duduk di hadapanku
dengan semangkuk bubur yang masih mengepul. Dalam pikirannya aku
sekarang siapa? Aku tak bisa menebak sama sekali apa yang akan dia
lakukan.
“Kamu tak akan makan
buburmu?” dia membuyarkan pikiranku.
Mata kami bertemu.
Alisnya yang berderet rapi mengingatkanku pada alis seseorang yang
harus aku temui di titik kulminasi nanti. Segera aku mengalihkan
pandanganku dan mulai menyuapkan bubur yang hangat itu ke dalam
mulutku. Beberapa kali aku harus meniupkan karena terlalu panas.
“Namamu siapa?”
“Jenna.”
“Aku Ryan.”
“Iya aku sudah tahu.”
“Terima kasih sudah
membawaku ke Pontianak, aku sudah lama sekali ingin ke sini. Tapi
selalu takut naik pesawat.”
Oh, jadi Ryan yang
penakut ini yang muncul? Sempurna, dia akan berada di sampingku terus
dan aku tak bsia menjelaskannya pada Ben yang akan segera tiba.
Sambil menghabiskan bubur ini aku memperhatikan setiap kendaraan yang
berlalu-lalang.
Semuanya membuatku
mengingat kembali hari itu. Hari naas yang membuat aku pergi dari
Pontianak dan baru sekarang aku berani kembali.
“Jenna, lari, rumah
kita dibakar...”
Wajah Mona bersimbah
keringat. Aku yang waktu itu berusia belasan tahu menyadari sesuatu
yang tak beres.
“Semua orang diangkut
ke kantor polisi, lari...”
“Lari?”
“Mak Zainab bilang ada
kapal ke Jakarta, lari Jenna. Nanti kamu ditangkap.”
Mona memberikan
bungkusan yang dia bawa dan menuntunku ke jalan yang gelap. Di sana,
orang suruhannya Mak Zainab, sudah menungguku. Mak Zainab yang selama
ini baik denganku. Germo yang tak pernah sekali pun memintaku untuk
terjun ke dunia yang sama dengannya. Dia merawatku dan tak membiarkan
satu lelaki pun menyentuhku.
Mak Zainab tahu. Aku
datang bukan atas kemauanku sendiri. Ayah yang kalah judi dan
terlilit hutang menjualku ke sini. Ke rumah pelacuran Arang. Pusatnya
kenikmatan. Mak Zainab membayarkan semua hutang ayah dan membawaku ke
sini. Tapi dengan perjanjian ayah tak akan pernah main judi lagi.
Ayah setuju. Hari itu
kehidupanku berubah. Aku menjadi milik Mak Zainab sepenuhnya. Dia
menjadikan aku seperti anaknya. Meskipun aku harus bekerja keras.
Mencuci semua pakaian perempuan yang menjadi perempuan bayaran di
sini setiap hari. Menyiapkan makanan untuk mereka. Pagi-pagi harus
membukakan pintu untuk mereka yang baru pulang.
Di balik itu semua, aku
mendapatkan apa yang aku inginkan, tidak menjual tubuhku untuk
mendapatkan uang. Mak Zainab mengerti. Sama mengertinya sekarang
untuk tidak mengembalikanku pada ayah.
Desas-desus bahwa
penduduk kampung akan segera membumihanguskan rumah kami, akhirnya
terwujud. Rumah kami menyala. Aku bisa melihatnya saat semakin jauh
dari sana. Cahayanya terang. Aku takut sekali malam itu. Lalu episode
hidupku yang lain dimulai. Sebelum akhirnya aku bertemu Ben beberapa
tahun yang lalu.