Aku menatap laki-laki
yang ada di depanku sekarang. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang
berbeda lagi. Dia terlihat seperti waktu aku pertama kali bertemu
dengannya. Seakan-akan seseorang yang sedang tersesat. Aku bingung
bagaimana harus menghadapinya. Sedangkan aku sudah punya masalah
sendiri yang harus diselesaikan.
“Kamu mau ke mana?”
Ryan, seharusnya aku tak
menerimamu tadi malam. Aku tahu aku salah telah membiarkan semuanya
semakin jauh. Tapi kamu terlihat sangat tidak stabil dan aku tak
punya waktu untuk menjelaskannya lagi.
“Aku harus ke Tugu
Khatulistiwa. Ada Kulminasi di sana.”
“Oh iya aku ingat
sekarang, kita di Pontianak kan? Aku juga datang ke sini untuk
menyaksikan Kulminasi.”
Sempurna, jangan katakan
sekarang kamu akan mengekoriku sepanjang hari dan tak ingin lepas
dariku. Dering ponselku mengejutkanku. Nada dering panggilan dari
Ben. Aku membongkar tasku dan menemukannya di dalam dompet hitamku.
“Iya, halo.”
“Kamu tak
menghubungiku sejak kemarin, aku cemas.”
“Maaf, begitu banyak
hal yang tak terduga terjadi kemarin dan tadi malam.”
“Kamu tak apa-apa?”
“Aku baik-baik saja.”
“Tapi kamu tak
terdengar baik.”
“Aku akan segera
pulang, bersabarlah Ben.”
“Aku sedang menuju
bandara. Aku akan menyusulmu. Aku salah telah membiarkanmu pergi
sendirian. Seharusnya aku menemanimu hingga akhir.”
“Ben.”
“Nanti akan kukabari.”
Ben tahu aku akan ngotot
untuk memintanya jangan datang. Dia menghindari pertengkaran mulut
yang akan terjadi sepanjang telpon itu tersambung.
“Aku ikut denganmu.”
Ryan mengejutkanku
kembali. Aku tak punya banyak pilihan sekarang selain mengangguk.
Mungkin aku bisa meninggalkannya di tempat yang aman dan terbebas
darinya secepat mungkin nantinya.
“Kulminasinya masih
beberapa jam lagi, aku ingin jalan-jalan dulu. Tak masalah kalau kamu
memang ingin ikut.”
“Bukannya kita memang
harus selalu bersama.”
Aku menghela napas.
Bingung menjelaskannya. Sepertinya ada bagian dirinya yang tak
mengetahui tentang dirinya yang lain. Dirinya yang kasar dan hampir
memperkosaku. Dirinya yang meratapi kepergian ibunya. Dirinya yang
beranggapan aku istrinya. Sekarang dia terlihat seperti seorang turis
yang baru pertama kali datang ke Pontianak.
Kami berjalan menuju
lobi untuk menitipkan kunci.
“Pak Ryan, mau ke
mana?” seorang pegawai hotel menyapa kami.
“Tugu Khatulistiwa.”
“Kami akan siapkan
mobilnya.”
Sempurna! Aku mengutuk
dalam hati. Sekarang aku yang tak bisa pergi begitu saja. Tak mungkin
aku meninggalkannya pada pegawai hotel yang sepertinya tak mengetahui
situasi yang sedang dihadapi oleh anak pemilik hotel mereka.
Mobil mewah itu menunggu
kami di depan pintu. Seseorang membukakan pintu untukku dan untuk
Ryan. Sejenak aku merasa jengah. Tak pernah mendapatkan perlakukan
seistimewa ini sepanjang hidupku dari orang asing. Hanya Ben yang
memperlakukanku seperti ini.
Mobil melaju membawa
kami menuju Tugu Khatuliswa. Dari balik jendela aku bisa melihat
cahaya matahari sedemikian terangnya. Semoga hari ini aku bisa
menunaikan janjiku yang sudah sangat terlambat itu.