![]() |
weheartit.com |
Aku
memejamkan mata erat-erat ketika peswat mulai bergoncang sangat
keras. Seatbelt mengikat
erat perutku, aku ingin muntah. Moncong pesawat mulai menukik ke
bawah. Ryan menggenggam tanganku hangat. Masker-masker oksigen
berjatuhan. Semua menjerit histeris. Sebagian lainnya melantunkan
doa-doa. Tiba-tiba mereka semua ingat pada Tuhan mereka
masing-masing. Tidak ada penyelamat di sini.
Kecuali
Tuhan.
***
Ada
yang aneh di sini…
“Jenna?”
Zaqis memanggilku dari kejauhan. Tak lama kemudian seorang gadis
kecil yang kukenali bernama Jenni muncul. Lalu adik perempuanku.
Mereka
memberitahuku perihal pernikahan mereka…
Semua
terulang lagi untuk ketiga kalinya.
Tidak!
Aku
tidak mau dengar! Tidak! Cukup! Hentikan!
Aku
menutup telingaku erat-erat dan menjerit kencang. Seluruh bumi
berguncang, dunia menggeliat bagai raksasanya yang terbangun dari
tidurnya. Ketika kurasa tenggorokanku hampir putus, aku merasakan
sebuah pelukan yang sangat hangat. Pelukan Ben? Bukan. Ini bukan
aroma tubuh Ben.
“Jenna…,”
Aku
membuka mataku perlahan. Tiba-tiba kami sudah di kamar hotel. Dan aku
menemukan diriku bersama dengan Ryan. Kenapa tiba-tiba aku di sini?
Apa kah aku jatuh pingsan dan dibawa ke hotel ini? Kenapa aku harus
bergelung di balik selimut dengan Ryan? Dia pria asing!
Aku
melepaskan diri dari pelukan Ryan segera. Aku tidak boleh lengah.
Ben!
Aku
harus memberitahu Ben. Ia harus tetap hidup. Satu-satunya harapanku
bertahan hidup. Ben, satu-satunya pria yang begitu mencintaiku. Aku
harus melanjutkan hidup walau tanpa Zaqis. Harus!
Aku
mencoba menghubungi nomor Ben namun operator bilang bahwa nomor itu
tidak terdaftar. Apa yang terjadi? Kepalaku mulai sakit.
Ryan
ikut turun dari ranjang. “Jenna, kau
kenapa? Kau aneh, kita kan sedang honeymoon,
Sayang.”
“Ben!”
jeritku parau. “Aku harus menyelamatkan dia!”
Ryan
menatapku tidak mengerti. “Ben? Siapa Ben?”
“Berhentilah
memainkan drama bahwa kau memiliki kepribadian ganda dan melupakan
tentang Ben! Kau tahu Ben akan mati! Tidak. Maksudku, kita juga akan
mati jika kita kembali besok! Ya! Kita akan mati! Argh!!!”
“Jenna!
Tidak ada Ben! TIDAK ADA!!!” Ryan mencengkeram lenganku erat.
Aku
memberontak. Aku berteriak. Aku menggigit lengan Ryan keras-keras.
Aku harus melepaskan diri. Aku harus bisa menyelamatkan Ben! Aku
tidak bisa hidup tanpanya! Tidak!
“Jenna,
sadar! Sadarlah! JENNA!!!!”
Itu
bukan suara Ryan. Bukan pula suara Ben. Ketika aku membuka mata, yang
memelukku ternyata… Zaqis. Tunggu, Zaqis? Zaqis yang menikahi adik
perempuan kesayanganku? Kenapa ia memelukku?
“Jenna,
maafkan aku. Maaf…,” desisnya lirih. Wajah tampannya basah oleh
air mata. “Ini semua salahku. Salahku.”
“Za…
qis?” aku tidak percaya pada penglihatanku. “Zaqis, selamatkan
Ben! Selamatkan Ben aku mohon! Aku tidak boleh kehilangan dia! Tidak!
Tidak setelah aku kehilangan kamu! Tidak!”
“Jenna!
Tidak ada Ben!” Zaqis balas berkata lirih di depan wajahku.
Aku
gemetaran seketika. Lututku lemas. “M-m-maksudmu… dia mati…?
D-dalam kecelakaan pesawat? Bagaimana dengan Ryan? Ryan, dia
baik-baik saja kan? Setidaknya salah satu dari mereka harus hidup!”
“Tidak
ada Ben! Tidak ada Ryan! Kau sendirian datang ke Kulminasi hari itu!
Kau sendirian!”
“Tidak!
Ryan! Aku bersama Ryan!”
“JENNA!
KAU SAKIT! KAU SAKIT!!!”
“Aku
tidak sakit! Aku punya Ben! Ben yang mencintaiku sepenuh hati… lalu
Ryan… Ryan juga mencintaiku… tidak…
aku tidak mungkin semenyedihkan ini. Tidak.
Aku sudah kehilanganmu… tidak…,“ aku roboh sambil meremas
kepalaku.
Dua
orang laki-laki membopong lenganku. Tapi itu bukan Ben. Bukan pula
Ryan. Dua laki-laki asing. Aku memberontak menyadarinya. Mereka
merebahkanku ke ranjang putih dan mengikat tanganku pada besi di sisi
tempat tidur. Aku terus meronta, menendang, dan menangis. Dari
jendela aku melihat adik perempuanku menangis.
Tunggu,
ruangan apa ini? Kenapa aku diikat? Kenapa mereka mengatur hidupku?
Beraninya!
“Kakak,
maafkan aku… maaf… seharusnya aku tidak menikah dengan Zaqis.
Maafkan aku….”
Seorang
laki-laki berpakaian seperti dokter
mendekatiku dan tersenyum.
“Jenna, saatnya kembali ke Kulminasi…”
Ia mengeluarkan sebuah injeksi dari saku jasnya dan menusukkannya ke
pembuluh darah bagian paha. Sakit. Aku mengernyit kesakitan.
“Dia
tidak akan bertahan dengan kenyataan yang ada.” Dokter itu berkata
pada Zaqis dan adikku. “Masalahnya selalu muncul tokoh Ryan yang
mendistraksi halusinasinya. Tokoh itu selalu menyeretnya kembali pada
kenyataan. Dia akan baik-baik saja setelah aku memberinya penenang.
Kita harus berhati-hati ketika Ryan muncul. Ryan bisa membunuh
Jenna.”
Adik
perempuanku menangis di dada Zaqis. Setidaknya ada satu yang benar
dalam kulminasi hidupku. Adikku berbahagia dengan orang yang
kucintai. Apa yang terjadi padaku, ketika kesadaranku mulai hilang
perlahan, bukan urusan mereka. Dua orang yang paling kusayangi hidup
bahagia.
Ketika
aku membuka mataku lagi, aku menemukan wajah Ben yang tersenyum
padaku. Tangannya merengkuh tubuhku. Kami bergelung bersama dalam
kasur yang hangat. Dalam kulminasi ini, kutemukan kebahagiaanku. Aku
tidak perlu hidup di dunia nyata hanya untuk menemukan kebahagiaan.
Apa
peduli kalian?
***