Berikut
ini adalah tulisan JiahJava yang membuat ending Kulminasi versinya
sendiri. Selamat membaca.
![]() |
weheartit.com |
Kubuka
mataku perlahan. Aku pikir, aku sudah mati. Aku ingin melawan takdir
Ben tapi ternyata aku sendiri yang mengalami kecelakaan pesawat.
Kupandangi ruangan sekitarku dan aku mengenalinya sebagai rumah
sakit. Hay, bagaimana dengan Ben? Ryan? Apa mereka baik-baik saja?
"Kak
Jenna! Syukurlah Kakak sudah siuman!"
"Lissa?
Bagaimana kamu bisa di sini?"
"Seminggu
yang lalu, Lissa dapat kabar dari suami Kak Jenna. Katanya kalian
kecelakaan. Untung saja Kakak selamat."
"Suamiku?
Siapa? Ben?"
"Ben?
Bukankah namanya Ryan?"
"Ryan?
Lissa, kamu tahu di mana handphonku? Aku ingin menghubungi
seseorang."
"Ini
Kak."
Lissa
mengulurkan handphone milikku. Aku harus menghubungi Ben. Nada
sambung terdengar dari seberang sana. Aku harap Ben akan baik-baik
saja.
"Hallo,
Ben? Kamu baik-baik saja kan?"
Suara
di seberang sana menyahut lembut.
"Maaf
jika saya sudah mengganggu. Sekali lagi maaf."
Kepalaku
berdenyut-denyut. Nomor itu bukan milik Ben. Lalu bagaimana keadaan
Ben? Ryan! Aku yakin dia mau menjelaskan semuanya. Semua yang telah
terjadi denganku.
***
Aku
berjalan menuju Tugu Katulistiwa. Sepertinya aku pernah mengalami hal
serupa. Dulu aku berjanji bertemu Zaqis dan beberapa waktu yang lalu
aku juga bersama Ryan menuju titik kulminasi.
Lissa
memberi tahu bahwa Ryan menungguku di sana. Aku tak tahu apa yang dia
inginkan. Bagaimana mungkin Lissa mengatakan Ryan itu suamiku?
Bukankah aku akan menikah dengan Ben?
Aku
mencoba menerobos kerumunan orang-orang. Selalu saja ramai seperti
ini saat akan kulminasi. Aku mencoba mencari-cari sosok Ryan. Kucoba
menghubungi nomor Ryan dan baru saja Lissa berikan. Sial! Tidak
aktif.
"Hai,
Jenna...."
"Ryan...,
aku terlalu pusing untuk memikirkan semua ini. Tolong bantu aku,
jelaskan semua yang telah terjadi."
"Apa
kamu sudah ingat semuanya?"
"Ingat
semua? Tentang apa? Yang kuingat, kita hanya teman perjalanan. Aku
ingin kembali lagi ke Jakarta untuk menikah dengan Ben. Lalu aku
berusaha mengubah takdir agar Ben tidak kecelakaan. Sekarang, Ben di
mana?"
"Ben
sudah meninggal satu tahun yang lalu, Jenna."
"Bohong!"
"Sungguh.
Ben benar-benar kecelakaan. Takdir sudah digariskan oleh-Nya. Sekuat
apapun kamu ingin merubah, takdir tetap akan terjadi."
Aku
tertunduk lemas. Bagaimana mungkin ini terjadi? Semua seperti mimpi.
Ben, maafkan aku. Aku hampir saja terjatuh dan Ryan menangkap
tubuhku. Ryan membenamkanku dalam pelukan hangatnya. Kudengar detak
jantung yang lebih keras. Debaran aneh yang selalu kurasakan saat
bersamanya.
"Ryan,
siapa kamu sebenarnya?"
"Aku?
Aku suamimu. Apa kamu tidak mengingatnya?"
"Kenapa
berbohong lagi? Siapa kamu? Apa kamu bagian dari sejarah hidupku?"
Ryan
melepaskan pelukannya dan membiarkanku berdiri di depannya.
“Sayang,
membiarkanmu memilih Ben adalah hal bodoh yang telah kulakukan. Aku
tak akan membiarkanmu kembali ke kulminasi sendiri bertemu seseorang
di masa lalumu, itu terlalu menyakitkan Jenna. Mencintaimu dalam diam
hanya dalam tulisan membuat sesak. Aku iri dengan kakakku, Ben.
Kenapa slalu dia yang terlihat unggul di depanmu? Aku, seolah menjadi
bayangan gelap Ben. Bahkan untuk mencintaimu pun aku harus mengalah.”
“Mencintaiku?
Bukankah kita baru kenal saat di pesawat?”
“Aku
bohong. Aku sudah terlalu lama mencintaimu, aku terlalu lama
mengenalmu tapi belum mampu memiliki hatimu.”
Kucoba
mencerna semua perkataan Ryan. Ryan seseorang yang lama mengenalku.
Siapa? Di mana? Kutatap kembali matanya, mata yang diam-diam selalu
mengawasi setiap gerak-gerikku. Mata itu…
***
“Ibu…,
Ibu dimana?” anak perempuan tujuh tahun itu tampak ketakutan dalam
tangisnya.
“Hai,
kamu kenapa? Jangan menangis. Aku kasih permen mau?” si anak
laki-laki mencoba menghibur.
“Aku
takut.”
“Tenang,
aku akan menjagamu. Jangan takut lagi ya?”
“Janji?”
“Janji!”
Kedua
anak itu saling menautkan jari kelingkingnya. Mereka saling perpegang
tangan menuju titik kulminasi.
***
“Ayo!”
kataku pada Ryan. Kutarik tanganya yang ternyata masih begitu hangat.
“Kemana?”
“Ke
titik kulminasi. Aku ingin mengulang sesuatu.”
“Bertemu
dengan suami adikmu? Aku tidak mau!”
“Ryan,
ayolah! Aku janji.”
Kuulurkan
jari kelingkingku. Ryan menatapku tak mengerti. Kuberikan senyum
terbaik yang kumiliki. Ryan, akhirnya mau menautkan jari
kelingkingnya. Walau sedikit pudar di dalam memori, tapi aku tahu
betul. Rasanya sama saat seorang anak laki-laki menawarkan diri untuk
menjagaku.
“Aku
janji akan menjagamu selalu, Jenna.”
“Aku
percaya. Maafkan aku Ryan.”
Ryan
menarikku dalam dekapannya. Mungkin aku, jatuh cinta. Yah, ini
mungkin sudah takdir-Nya.
“Hey,
kulminasi sebentar lagi. Ayo kita ke sana.” kataku.
Ryan
menatapku dan berjalan sambil menggenggam erat tanganku.
“Ryan,
apa kita benar-benar sudah menikah?”
“Tentu
saja. Aku tidak akan bohong soal pernikahan itu.”
“Bisakah
kita mengulang pernikahan itu?”
“No!
Aku baru saja menghabiskan uang untuk rumah sakitmu.”
“Kamu
pelit, Ryan!”
“Memang!
Wek!”
“Ryan!”
“Aku
akan mengabulkan satu hal dalam upacara pernikahan kita beberapa
waktu yang lalu.”
“Apa?”
“Menciummu.”
bisiknya.
“No!”
Aku
berlari menjauhinya menuju titik kulminasi. Dia dengan cepat
mengejarku dan memenjarakanku ke dalam dadanya.