Aku
terbangun dalam pelukan Ryan. Aku menyentuh pipinya dengan jemariku.
Hidungnya. Lalu bergerak ke bibirnya. Semalaman ternyata dia
memelukku ke dalam dadanya. Saat dia terbangun nanti apakah dia ingat
bahwa aku bukan istrinya? Bahwa aku hanya teman seperjalanan yang
akan berpisah ketika menjejaki Jakarta.
Matanya
yang baru kusentuh kelopaknya tiba-tiba terbuka. Dia tersenyum manis
sekali pagi ini. Dengan tangan kanannya dia melepaskan handuk dari
kepalaku yang sejak tadi malam belum kubuka. Tanpa aku sempat
mengelak dia sudah mengecup bibirku. Hangat. Anehnya aku
membiarkannya.
“Selamat
pagi sayang.”
“Pagi
Ryan.”
Aku
menempelkan kepalaku lebih dalam ke dadanya.
“Mimpi
indah tadi malam?”
“Aku
tak memimpikan apa-apa.”
“Tidurmu
memang nyenyak sekali, wajar tak ada mimpi yang nyangkut di dalam
tidurmu.”
“Kamu
mimpi apa Ryan?”
“Dalam
tidur dan bangunku aku hanya melihatmu.”
Aku
terbahak. Aku suka Ryan yang ini. Dia terasa sangat nyata menganggap
kami sudah menikah. Caranya memelukku. Caranya menatapku. Tapi
segalanya akan berakhir hari ini. Pada saat aku tiba di Jakarta
nanti, hanya Ben yang harus aku tuju. Satu-satunya orang yang
benar-benar mencintaiku.
“Kamu
mau sarapan apa?”
“Bisakah
kita berbaring lebih lama?”
“Tentu
saja sayang. Apa pun maumu.”
![]() |
Weheartit.com |
Aku
menempelkan telingaku ke dadanya. Mendengarkan detak jantungnya yang
terdengar kencang. Apakah debaran ini akan sama saat dia berubah
menjadi Ryan yang lain?
“Kalau
kamu diberikan satu hari untuk mengubah yang seharusnya terjadi apa
yang akan kamu lakukan?” aku menatap matanya lekat-lekat.
“Aku
akan menjalaninya seperti sehari sebelumnya. Aku tak akan mengubah
apa-apa, karena aku tahu Tuhan sudah punya takdir untuk kita.”
“Tapi
bagaimana kalau ternyata kita bisa menghalangi hal-hal buruk yang
bisa saja terjadi?”
“Tak
ada yang namanya hal buruk, sayang. Tuhan tak pernah memberikan
takdir buruk untuk kita. Takdir tetap takdir. Itu saja.”
Aku
terdiam dan melanjutkan mendengar detak jantungnya.
“Kita
bisa terlambat kalau kamu memutuskan untuk terus berada di tempat
tidur seperti ini.”
“Oh
iya kita harus naik pesawat ya.”
“Ya,
kita akan menjalani takdir kita.”
Ryan
memegangi tanganku sepanjang jalan di bandara. Tak sekali pun dia
melepaskannya. Padahal setelah 24 jam, dua kali, kami bersama, dia
seharusnya tahu bahwa sebentar lagi kami akan berhadapan pada
kenyataan yang lain. Takdir kami masing-masing. Dia bukan takdirku
karena takdirku yang sebenarnya sudah menunggu di Jakarta. Ben.
Kami
duduk bersebelahan. Dia menggenggam tanganku erat. Aku ingat, ada
sisi dirinya yang takut saat berada dalam pesawat. Aku mengusap
punggung telapak tangannya sambil tersenyum. Berusaha menenangkan
saat pesawat itu mengudara.
“Tenanglah,
aku di sini.”
“Aku
ingin tenang, Jenna, tapi aku takut. Ternyata mengetahui kenyataan
itu terlalu menakutkan. Itu sebabnya masa depan tak diizinkan untuk
kita ketahui.”
“Apa
yang kamu takutkan, Ryan?”
“Bukankah
kamu sudah tahu kita akan mati hari ini Jenna, pesawat ini akan
jatuh.”
“Tidak,
bukan itu yang aku lihat.”
“Itu
yang akan terjadi karena kamu mengubah takdir orang lain Jenna.
Semuanya akan berubah untuk membuat perubahan sebelumnya menjadi
kenyataan.”
Aku
menggelengkan kepalaku berkali-kali.
“Tidak
mungkin.”
“Tenanglah
Jenna. Ini memang takdir kita. Aku sudah melihatnya. Aku tidak akan
takut jika harus mati dua kali bersamamu.”
Di
dalam kepalaku tiba-tiba semuanya bermunculan, wajah-wajah orang yang
aku kenal. Wajah orang di masa laluku dan wajah Ben. Berputar-putar.
Lalu aku mendengar aku merasa pesawat tergoncang sedemikian kerasnya.
Perlahan-lahan aku memejamkan mataku. Siap menerima takdir
berikutnya. Aku
merasa seperti terjadi kulminasi, sayangnya kali ini bukan bayanganku
yang akan menghilang tapi ragaku akan ditinggalkan oleh jiwaku.