Kulminasi (bagian 15)
Semua
rencana harus kubatalkan. Ada yang bisa aku lakukan untuk membuat Ben
terus hidup. Menghalangi kematiannya. Aku harus pulang. Ingin
pulangnya sekarang tapi tak ada satu tiket penerbangan pun yang
tersisa yang bisa kubeli untuk menyusul Ben di Jakarta.
Berarti
aku hanya bisa pulang besok. Sementara ini aku harus menginap di
hotel yang sudah aku pesan sebelumnya. Aku harus memastikan lagi
tentang Ryan. Semuanya masih belum benar-benar meyakinkan hatiku.
Logikaku sekarang benar-benar kacau.
Aku
mengulang banyak hal yang sama. Rasanya semuanya benar-benar sama.
Sekarang aku sudah memegang kunci yang membuatku akan bertemu dengan
Ryan untuk kedua kalinya. Dia akan berusaha memperkosaku. Aku akan
menghentikan 'dirinya' yang gila itu hanya dengan menyalakan lampu.
Perlahan
aku membuka pintu dan berharap tak terkejut untuk kedua kalinya pada
hal yang sama. Aku keliru. Lampu sudah menyala dan Ryan duduk di
kursi menghadap ke arahku. Seakan-akan dia sudah menantikan
kedatanganku. Dia tersenyum. Dia terlihat berbeda.
“Jangan
katakan kamu mengetahuinya juga.” Dia tiba-tiba berdiri dan
mendekatiku.
“Mengetahui
apa?”
“Itu
tidak mungkin.”
“Maksudmu
tentang kita kembali ke hari sebelumnya?”
“Itu
hanya mimpi, aku yakin sekali itu hanya mimpi.”
“Tidak
mungkin dua orang mengalami mimpi yang sama Ryan. Tidak mungkin aku
memimpikan fakta tentangmu. Kita memang kembali ke hari sebelumnya.”
“Kamu
akan kembali ke Jakarta besok?” Ryan bertanya sambil mengangkat
alisnya.
“Iya,
kamu?” Aku balik bertanya.
“Sepertinya
aku memang harus kembali.” Ryan berbicara setengah bergumam.
“Mau
naik pesawat bersamaku?”
“Iya,
aku akan naik pesawat bersamamu, memang harus seperti itu.”
“Berarti
malam ini kita harus istirahat, kita sudah sangat lelah dan besok
masih ada perjalanan yang panjang menunggu kita.”
“Bolehkah
aku tidur bersamamu?”
“Tapi
kamu harus ingat bahwa aku bukan istrimu. Bahkan kamu tak boleh
pura-pura melupakannya.”
“Aku
hanya bercanda, kamu sendiri tahu aku datang ke sini untuk apa. Ibuku
bunuh diri di sini, di kamar ini.”
“Kamu
mau cerita tentang itu malam ini? Aku akan mendengarkan.”
“Tapi
kamu harus mandi dulu. Karena ceritanya akan panjang sekali.”
Aku
telah selesai mandi dan keluar dengan rambut basah yang dibalut dalam
handuk. Kemudian aku baru sadar bahwa ranjangnya hanya ada satu dan
Ryan sudah berada di sana, di dalam selimut.
“Ayo
ke sini...”
Ragu-ragu
aku ikut masuk ke dalam selimut. Ryan yang sekarang terasa tak asing
lagi bagiku. Berada pada hari yang sama dengannya untuk kedua
kalinya. Bahkan di kamar yang sama.
“Kamu
siap mendengar ceritanya?”
Aku
menganggukkan kepalaku. Ryan memulai ceritanya tapi aku tak begitu
mendengarkannya sebab mataku sangat mengantuk. Perlahan-lahan aku
tertidur. Sangat nyenyak. Larut ke alam mimpi.