“Hey,
bangun, pesawatnya sudah sampai.”
Seseorang
di sampingku membangunkanku sambil mengguncang pelan bahuku. Aku
membuka mata dan menemukan Ryan di sampingku. Di dalam pesawat. Aku
di dalam pesawat? Aku memperhatikan setiap wajah yang melewatiku. Aku
mengenali wajah mereka. Mereka penumpang yang sama. Bahkan tempat
dudukku juga sama.
Aku
kembali ke hari kemarin atau aku hanya bermimpi?
“Ryan,
kita mau ke mana?”
“Kamu
tahu namaku dari mana? Kita kenal?”
Laki-laki
yang aku kenali sebagai Ryan itu tersenyum kemudian meninggalkanku
tanpa menunggu aku menjawab pertanyaannya. Aku mengejar langkahnya
menuju pintu keluar. Tak peduli dengan orang yang juga sedang
mengarah ke pintu yang sama dalam keadaan berdesak-desakan.
“Ryan,
tunggu.”
“Iya
ada apa?”
Laki-laki
itu terlihat berbeda. Dia tak seperti yang kulihat dalam mimpiku.
Jika itu memang mimpi. Aku menarik tangannya karena dia hampir
berlalu sebab aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Kalau
boleh tahu apakah kamu punya hotel di Pontianak? Hotel milik ayahmu?”
“Kamu
tahu dari mana? Iya ayah saya punya hotel di sini. Kamu tahu nama
saya Ryan, kamu tahu ayah saya punya hotel, apalagi yang kamu tahu.
Kamu perempuan yang menarik.”
“Apakah
ibumu meninggal bunuh diri?”
“Sepertinya
kamu terlalu banyak tahu, Nona. Saya buru-buru. Bye.”
Ryan
terlihat tersinggung dengan ucapanku barusan. Apakah karena apa yang
aku tanyakan benar? Bagaimana mungkin mimpiku begitu benar? Jika
memang Tuhan memundurkan waktu satu hari berarti sekarang Ben sedang
menunggu aku menghubunginya. Sebab jika aku tak menghubunginya dia
akan datang ke sini besok. Aku membuka kalender di ponselku dan
menemukan tanggal kemarin. Tanggal aku berangkat.
Aku
melewati waktu dan kembali ke masa lampau? Aku merasa sangat kacau.
Sangat kacau. Aku masih butuh bukti yang lain untuk meyakinkan diriku
bahwa Tuhan memberikan tambahan satu hari untuk aku memperbaiki
keadaan. Seandainya memang mimpi itu bukan mimpi, berarti Zaqis dan
Lissa memang sudah memiliki anak dan namanya Jenni.
Aku
membuka ponselku dan segera menghubungi Ben setelah aku melewati
pintu keluar.
“Aku
sudah sampai di sini, jangan menyusulku. Aku akan segera kembali.
Secepatnya. Ada yang harus aku cek di sini. Ingat, jangan susul aku
ke sini. Jangan naik pesawat apa pun.”
Ben
tak sempat mengatakan apa-apa sebab aku segera mematikan ponselku.
Ragu-ragu aku mencari nama Lissa di kontak. Jika memang aku kembali
ke hari kemarin dan semua yang ada dalam mimpiku bukan mimpi,
melainkan benar-benar terjadi, maka seharusnya aku menyimpan nomor
ponsel Lissa di sini.
Aku
mengejaknya perlahan. Ada di sana. Nama adik perempuanku yang sudah
menikah dengan Zaqis. Laki-laki yang paling aku cintai selama
bertahun-tahun ini. Ragu melandaku saat aku menekan tombol 'panggil'.
Nada dering tersambung beberapa detik kemudian terdengar. Lalu suara
Lissa menyusul di baliknya.
“Halo.”
“Lissa?”
“Kak
Jenna-kah ini? Kak Jenna?”
“Iya
ini Kak Jenna.”
“Ya
ampun Kak Jenna, ke mana saja selama ini. Kami mencari kakak.”
“Kakak
di Jakarta, kamu sudah menikah dengan Zaqis?”
“Kak
Jenna tahu dari mana?”
“Anak
kalian Jenni apa kabarnya?”
“Kak
Jenna dapat kabarnya dari mana? Maafkan kami, Kak.”
“Kakak
yang seharusnya minta maaf selama ini tak memberi kabar pada kalian.
Kakak juga mau bilang terima kasih sudah menikah dengan Zaqis.
Bahagiakan dia ya, Lissa.”
“Kakak
kapan pulang ke Pontianak.”
“Segera,
Kakak butuh ayah sebagai wali.”
“Kak
Jenna akan menikah?”
“Iya,
nanti Kakak hubungi lagi ya, Lissa.”
Aku
memutuskan panggilan itu dan bersandar di dinding. Sekarang apa?
Beginikah rasanya mengetahui masa depan? Semua orang akan berusaha
memperbaiki kesalahan yang akan dia perbuat dan menghalangi kematian
orang yang paling penting dalam hidupnya.