Aku
membayar ongkos taksi dan berlari menuju pintu tunggu Bandara
Internasional Supadio. Semua orang yang aku lewati seperti sedang
membicarakan sesuatu. Seperti dengungan lebah. Semakin lama semakin
mendengung. Aku hanya mendengar bisikan-bisikan tak jelas. Lalu
orang-orang mulai histeris. Menangis.
Aku
resah. Ada apa?
“Ada
apa ya, Pak?” aku mendekati seorang lelaki yang berdiri di dekat
tiang. Dia merokok dengan santainya.
“Pesawat
jatuh. Banyak penerbangan delay.”
“Pesawat
dari mana?” aku berharap dia tak menyebutkan Jakarta.
“Jakarta.”
“Jam
berapa?”
“Penerbangan
tadi pagi, sekitar jam 9 harusnya sudah mendarat di sini.”
“Penerbangan
yang mana Pak?”
Laki-laki
itu menyebutkan penerbangan yang biasa Ben tumpangi. Aku hanya bisa
berharap bahwa Ben tidak naik pesawat itu. Semoga dia naik pesawat
yang lain. Semoga. Aku berdoa panjang sekali sambil menahan semua
gemuruh di dadaku. Aku menunggu. Menunggu keajaiban yang terjadi.
Aku
ingin Ben sekarang muncul di hadapanku sambil mengatakan dia naik
pesawat dan delay berjam-jam. Sehingga telat tiba di Pontianak.
Harapanku tinggal harapan karena ponsel Ben sekarang masih tak aktif.
Tiba-tiba
ponsel dalam genggamanku berdering. Aku menarik napas lega sebelum
melihat nama orang yang menelpon. Lalu detik berikutnya aku kecewa.
Dari Laila.
“Iya,
halo.”
“Ben,
Ben, Ben!” Laila terdengar histeris.
“Ben
kenapa Laila?”
“Pesawatnya
jatuh, pesawatnya jatuh, Jen. Jatuh.”
Lalu
selanjutnya ponsel itu terlepas dari genggamanku. Aku jatuh ke
lantai. Tersedu di sana. Hilang sudah satu-satunya harapanku untuk
melanjutkan kehidupan ini. Ben sudah pergi. Aku tak mungkin berharap
dia selamat. Itu terlalu menyakitkan. Sangat berat bagiku berharap
seperti itu.
Ben.
Semua salahku. Aku yang meninggalkanmu. Aku yang membuatmu naik
pesawat itu. Seharusnya aku tak datang ke sini.
Bayangan
wajahnya. Senyumannya. Permintaannya hari itu. Dia begitu memaksa
agar aku tak pergi. Tapi sekarang dia malah pergi untuk
selama-lamanya. Aku tak percaya ini.