Selesai
acara menyaksikan fenomena kulminasi itu aku kembali teringat tentang
Ben. Sudah berjam-jam tak ada kabar darinya. Ryan masih ada di
sampingku. Lissa dan Zaqis sudah membawa anaknya yang kecapekan
pulang ke rumah setelah bertukar nomor ponsel denganku.
“Habis
ini kita mau ke mana?” Ryan mendekatiku yang menatap bayanganku
yang tadinya menghilang sekarang sudah kembali.
“Bandara,
aku harus menunggu Ben.”
“Ben?
Ben siapa?”
“Calon
suamiku.”
“Calon
suamimu? Bukannya kita sudah menikah, sayang? Bagaimana mungkin kamu
punya calon suami lagi?”
“Sepertinya
kita harus bicara.”
Aku
menarik tangan Ryan, menjauh dari kerumunan orang yang sangat ramai.
Menemukan pohon yang rindang dan sepi dari orang-orang.
“Ryan,
aku tak tahu dirimu yang mana yang mengingat bagian ini. Kamu datang
ke Pontianak untuk mendatangi kamar hotel favorit ibumu, di mana dia
bunuh diri. Kamar itu adalah kamar yang aku sewa tadi malam. Sekarang
kita tak bisa bersama lagi karena aku bukan istrimu dan kita hanya
bertemu di pesawat kemarin dan kebetulan aku menyewa kamar yang sama
dengan yang ingin kamu tempati.”
“Kamu
bicara apa? Aku tak mengerti? Ibuku tidak meninggal.”
“Kamu
membuatku bingung, Ryan. Kamu bohong tentang ibumu yang bunuh diri?”
“Kamu
yang bohong tentang calon suamimu kan? Kamu istriku. Bagaimana
mungkin?”
“Ryan.”
Seorang lelaki mendekati kami dan menyentuh bahu Ryan.
“Maafkan
anak saya, dia memang sedang ada masalah. Dia pasti sudah menyusahkan
kamu ya sejak tadi malam. Saya Ayahnya.”
Laki-laki
tua itu menyalamiku hangat.
“Ayo,
kita pulang, Nak.”
Aku
menatap Ryan yang tak mengeluarkan kata-kata apa pun. Dia sama sekali
tak menolak saat laki-laki itu sedikit menariknya menjauh dariku.
Sekarang
tinggal satu hal lagi yang harus aku selesaikan. Menghadapi Ben.
Menjelaskan semuanya. Melanjutkan pernikahan. Melanjutkan kehidupan
yang seharusnya aku lanjutkan sejak kemarin. Aku malah membuat
pernikahanku hampir hancur gara-gara hatiku sendiri.
Aku
menghela napas panjang. Menatap langit yang masih bercahaya sangat
terang. Hawa panas masih menggila di sini. Beberapa orang melewatiku.
Sepertinya mereka juga akan pergi. Aku keluar dari area Tugu
Khatulistiwa dan menuju jalan raya. Aku harus mencari taksi atau
angkutan umum lainnya. Aku harus ke bandara.
Sambil
berjalan aku memencet-mencet ponselku. Berusaha menghubungi Ben.
Berkali-kali tapi tak tersambung. Ingin rasanya aku membanting ponsel
itu dengan emosi kalau sekarang aku sedang berada di kamarku. Mengapa
semuanya membuat aku frustasi?