“Jenna?”
Zaqis
terlihat sangat terkejut. Aku hampir berlari memeluknya saat seorang
anak kecil berlari ke arah laki-laki yang selama ini aku simpan di
bagian paling sudut di hatiku. Begitu dalam cinta yang aku pendam
untuknya seorang. Bahkan Ben tak mampu membuat aku membuang perasaan
cintaku pada Zaqis. Hingga hari ini, rasa itu masih sehangat dulu.
Zaqis
menggendong anak kecil yang rambutnya dikepang dua itu. Aku tak mampu
berkata apa-apa. Aku bahkan tak berani bertanya itu anak siapa. Zaqis
juga terlihat bingung untuk menjelaskannya. Dia hanya bisa menarik
napas panjang. Mencoba mencari kata-kata yang benar untuk mengatakan
siapa anak itu.
Jangan
katakan itu anaknya dengan perempuan lain?
“Kak
Jenna?”
“Lissa?”
Aku
bertatapan dengan perempuan yang akhirnya mengambil alih anak kecil
yang tadi digendong Zaqis. Lissa, adik perempuanku yang terpaut dua
tahun di bawahku sekarang terlihat sangat dewasa. Apa artinya ini?
“Ini
anak Lissa dan Zaqis, Kak.”
Lissa
mendekatiku dan mengulurkan anak kecil yang lucu itu. Aku mencoba
tersenyum meskipun aku tahu langit serasa runtuh dan menimpa
kepalaku. Aku menahan air mata yang hampir jatuh ke pipiku.
“Namanya
siapa?”
“Namanya
Jenni. Senyumnya mengingatkan kami pada Kak Jenna. Kapan Kakak
pulang? Kakak ke mana saja?”
“Kakak
kabur ke Jakarta, Lissa. Menetap di sana. Kakak juga kuliah di sana.”
“Kuliah
Kak? Lissa hanya tamat SMA sebelum akhirnya Bang Zaqis melamar Lissa
dua tahun lalu. Maafkan kami, Kak.”
“Kenapa
harus minta maaf? Kalian tidak salah apa-apa kok.”
“Tapi
Bang Zaqis sudah berjanji dengan kakak lebih dulu.”
“Lissa,
itu sudah bertahun-tahun berlalu.”
“Jenna,
kamu cepat sekali berjalannya, aku kan ketinggalan,” Ryan muncul di
antara kami berempat.
Zaqis
masih diam saja. Wajahnya sedikit menunduk. Aku tahu dia merasa
sangat bersalah.
“Kenalkan
ini Ryan.”
“Hai,
aku Ryan, suaminya Jenna. Kalian siapa?”
“Kak
Jenna sudah menikah juga?” Lissa langsung sumringah. Wajahnya
terlihat lebih lega. Begitu pula dengan wajah Zaqis.
Sekarang
tak ada alasan lagi bagi mereka untuk merasa bersalah karena menikah.
Laki-laki yang aku cintai menikah dengan adik yang aku sayangi.
Bagaimana mungkin aku akan merusak pernikahan mereka? Bagaimana
mungkin aku bisa menyalahkan keputusan mereka. Aku terlalu lama
menghilang tanpa kabar. Bahkan kalau orang menganggap aku mati sekali
pun aku tak bisa marah.
“Iya,
kami sudah menikah. Ini adikku Lissa dan suaminya Zaqis.”
Mereka
bersalaman dan aku berhasil menyembunyikan luka yang tiba-tiba
menganga di hatiku. Aku menggendong Jenni yang erat memelukku.
“Setiap
ada perayaan kulminasi, kami selalu menunggu Kak Jenna di sini. Bang
Zaqis bilang dia sudah janji akan menemui Kakak di sini. Dia juga
yakin kalau Kakak kembali, di sinilah Kakak akan datang.”
“Iya,
Kakak memang ingin datang ke sini untuk melihat Kulminasi. Kakak juga
sudah janji untuk menemui Zaqis di sini.”
Aku
mengulurkan tangan kananku yang tak menggendong Jenni ke tangan Ryan.
Aku menggenggamnya erat dan memberikan isyarat melalui mataku. Entah
dia mengerti atau tidak betapa hancurnya perasaanku detik ini.
“Kamu
lapar, sayang?”
Aku
hanya menggeleng dan memberikan senyuman palsu.