
Pesawat
Ben seharusnya sudah mendarat sejak satu jam yang lalu. Tapi hingga
sekarang tak ada tanda-tanda pesawatnya akan segera tiba. Beberapa
penerbangan bahkan tertunda. Aku berdiri di samping Ryan yang
sekarang menggenggam tanganku kembali. Dalam hitungan jam dia berubah
menjadi banyak orang berkali-kali. Aku bingung. Tapi berusaha untuk
tetap menghadapinya dengan tenang. Setidaknya sekarang aku bisa
menggenggam tangan seseorang yang menganggapku sebagai orang yang
penting baginya.
Beberapa
jam yang telah lewat itu membuatku semakin resah. Aku harus ke Tugu
Khatulistiwa. Kulminasi tinggal 2 jam lagi dan jarak dari bandara ke
sana cukup jauh. Aku juga harus memperkirakan bahwa kemacetan akan
melanda di sepanjang jalan menuju ke sana. Aku harus meninggalkan
bandara sekarang. Ben akan menghubungiku nanti.
“Kita
harus ke Tugu Khatulistiwa. Sekarang.”
“Owh,
oke.”
Wajah
Ryan sedikit terkejut, aku menariknya menuju parkiran. Mendekati
mobil yang masih ditunggui dengan sabar oleh supir pribadinya. Ryan
menutup pintu yang tadi kulewati untuk masuk. Kami berada di dalam
mobil dalam diam. Aku berkali-kali melirik jam tanganku.
Aku
tak punya banyak waktu. Semuanya terasa kacau. Aku yang
mengacaukannya. Aku yang membuatnya menjadi seperti ini. Aku harus
bertemu Zaqis. Apa pun taruhannya.
“Kamu
semakin pucat, sayang.”
Ryan
menyentuh pipiku yang rasanya memang semakin hangat. Aku rasa aku
memang demam. Aku menyembunyikannya saja. Toh Ryan orang asing. Bukan
orang yang akan benar-benar peduli padaku.
“Kamu
yakin kita tak perlu ke dokter, sayang?”
“Tidak
usah. Kulminasinya sebentar lagi. Aku harus ke sana.”
Ryan
mengunci mulutnya. Dia tersenyum tipis dan membelai rambutku. Aku
yang kacau hanya bisa menyandarkan kepalaku di dadanya. Apa kata Ben
jika dia tahu ada Ryan yang sepanjang waktu menemaniku dan bagaimana
aku menjelaskannya pada Zaqis.
Aku
bahkan tak tahu apakah Zaqis masih menungguku di sana? Adakah dia di
sana?
Melewati
jalanan yang penuh oleh kendaraan yang menuju ke arah yang sama, kami
akhirnya tiba di Tugu Khatulistiwa. Tak banyak yang berubah kecuali
perasaanku saat melihatnya setelah sekian tahun mengubur ingatan
tentangnya dalam-dalam.
“Ini
Tugu Khatulistiwanya?”
Ryan
tak lagi menggenggam tanganku. Sepertinya dia sudah menjadi orang
lain lagi.
“Iya
ini Tugu Khatulistiwanya.”
Ramai
sekali orang di sini. Tapi aku selalu ingat titik yang kami pijak
saat terjadinya Kulminasi. Aku berjalan sangat cepat menembus
kerumunan banyak orang yang sedang menonton tarian yang sedang
dipersembahkan oleh beberapa perempuan dengan pakaian tradisional
suku Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Aku tak mendengar suara apa pun
rasanya saat pandanganku bertemu dengan sepasang mata yang selama ini
kurindukan.
Aku
melihatnya. Mata yang sama. Cara memandangku yang sama. Zaqis ada di
titik yang kami janjikan. Di titik kulminasi yang sama.
Bersambung
Gambar:
Weheartit.com