“Ada
apa?” Ryan menyentuh tangan kiriku yang terletak di meja.
Aku
menjawab dengan gelengan kepala. Sinar matahari di luar sana semakin
terang. Aku hanya berharap segalanya bisa segera selesai. Janji itu.
Janji yang seharusnya aku tunaikan sejak dulu. Aku yang salah karena
membuat janji, janji yang sebenarnya tak bisa aku tepati.
“Wajahmu
pucat, kamu yakin kamu baik-baik saja sayang?” Ryan menggenggam
tanganku.
Rasanya
aku sudah mulai membiasakan diri dengan keberadaan Ryan dengan segala
sisi dirinya yang tiba-tiba berubah menjadi orang lain. Apakah ini
sisi dirinya yang menganggap kami sudah menikah dan tentu saja aku
adalah 'istrinya'.
“Aku
baik-baik saja. Bisakah kita ke bandara? Aku ingin menjemput
seseorang.”
“Tentu
sayang. Apa pun yang kamu inginkan.”
Kami
lalu menghabiskan bubur masing-masing dalam diam. Sesekali Ryan
menatapku dan tangannya sama sekali tak melepaskan tanganku. Aku tak
mampu mengelak.
Selanjutnya
dapat dipastikan, di mobil dia menggandengku. Melingkarkan tangannya
di bahuku. Sekarang, aku rasanya ingin tertawa. Rasanya aku berada di
samping banyak orang dalam satu paket. Ryan. Dia menarik kepalaku
agar bersandar di bahunya. Aku menyandar sedikit tak mau
menyinggungnya.
Toh
setelah ini aku akan bergelayut pada Ben. Aku akan menghadapi janjiku
dengan menggenggam tangannya. Maaf Ben, seharusnya aku tak datang ke
sini sendirian dan terlibat dalam kerumitan yang sekarang tak bisa
aku lepas cengkaramannya.
Belasan
tahun yang lalu. Aku akan selalu ingat hari itu. Aku belum tinggal
bersama Mak Zainab. Aku belum dijual ayah. Ayah masih sibuk gali
lobang tutup lobang hutangnya. Aku mengenal seorang lelaki untuk
pertama kalinya dalam kacamataku sebagai seorang perempuan.
Zaqis.
Lelaki yang membuat hatiku berbunga-bunga. Penuh debaran cinta.
Lelaki yang berjanji akan datang untuk meminangku saat dia berhasil
di negeri jiran. Zaqis yang pendidikannya tidak tinggi, mau tak mau
harus menjadi kuli di negara Malaysia. Tapi dia tak mengeluh. Sebab
semuanya dia lakukan agar kami berdua bisa menikah.
Aku
menunggu. Terus menunggu dengan sabar. Menunggu hari dia kembali dan
akan datang menemuiku saat Kulminasi di Tugu Khatulistiwa. Saat
bayanganku dan bayangannya menghilang. Berharap di titik Kulminasi
kami akan bersatu untuk selamanya.
Setiap
Kulminasi aku menunggu. Tanpa henti. Hingga akhirnya, aku dijual
kepada Mak Zainab oleh ayah. Meskipun aku tak menjual diriku pada
lelaki hidung belang. Namun tetap saja, semua orang memandangku
sebagai perempuan yang tak lagi baik. Mereka menganggapku seperti
semua perempuan yang datang pada Mak Zainab.
Saat
terakhir kalinya aku bisa datang di Titik Kulminasi, Zaqis tak
datang. Dia belum juga pulang. Lantas sekarang apakah dia sudah
datang? Apakah dia menungguku di Tugu Khatulistiwa itu? Mungkinkah
dia masih terus menanti perempuan yang dia cintai ini?
Kalau
iya, bagaimana dengan Ben? Apakah aku harus memilih Zaqis yang telah
lebih dahulu membuat janji untuk menikahiku atau Ben yang sekarang
siap mengijabkabulku?
“Jenna...”
Aku
melirik Ryan dengan ujung mataku. Caranya menatapku sekarang berubah.
“Kenapa?”
“Kamu
kenapa bersandar di bahuku?”
Aku
baru sadar dia tak lagi menggenggam tanganku. Sekarang Ryan yang mana
yang ada di sampingku? Aku tak bisa menebaknya. Kami duduk agak
renggang dan tak berkata apa-apa. Karena aku lelah menjelaskan
semuanya.
Gambar: Weheartit.com