.jpg)
Renno
mengantarku lagi seperti kemarin. Berjalan di tengah udara dingin.
Kali ini aku membawa jaket bersamaku sehingga aku tak perlu
mengenakan jaket Renno lagi. Namun dia menggenggam tanganku seperti
kemarin. Aku bingung bagaimana menjelaskannya. Aku seharusnya tidak
pulang bersamanya. Selain ini membuat aku tak bisa memberanikan diri
untuk mendekati mandor cat itu, aku juga seperti menambah rahasia
baru yang tak akan aku bagi pada Rita.
Aku
tak mungkin menceritakan betapa baiknya Renno padaku. Aku juga
mustahil bisa mengatakan rasanya kecupan pertamaku dan itu berasal
dari Renno. Rita akan menganggapku musuhnya. Dia pasti akan meledak.
Apalagi kali ini dia terlihat sangat serius pada Renno. Tapi aku juga
tak bisa menolak permintaan Rita yang membuatku harus pulang diantar
oleh Renno. Seharusnya Rita yang pulang bersamanya. Kalau begini
terus akan timbul masalah. Aku yakin itu.
“Menurutmu
Rita bagaimana?” aku membuka obrolan.
“Rita
baik. Sangat baik. Dia baik pada semua orang dan selalu tertawa.
Pasti kamu senang menjadi sahabatnya.”
“Iya,
kami memang sudah berteman sejak lama. Dia selalu menjadi temanku.”
“Mengapa
tiba-tiba membicarakan Rita?”
“Aku
tidak mau persahabatan kami rusak hanya gara-gara masalah sepele.”
“Masalah
apa? Kulihat kalian berdua baik-baik saja.”
“Masalahnya
baru muncul baru-baru ini, aku tak mau kehilangan sahabatku gara-gara
satu masalah.”
“Masalah
apa?” Renno menghentikan langkahnya dan berdiri di depanku.
“Kamu.”
“Aku
masalah kalian? Bukankah aku tak pernah mengganggu persahabatan
kalian?”
“Kamu
tidak tahu tentang perasaan Rita padamu dan setiap kali bersamamu
membuatku tidak enak hati padanya.”
“Rita
suka sama aku?”
“Iya.”
“Dia
bilang begitu?”
“Iya
tadi pagi dia bilang dia serius dan ingin menjadi istrimu.”
“Aku
tak ingin peduli tentang perasaan Rita, yang aku pikirkan hanya
perasaanku. Aku menyukai orang lain. Sejak lama.”
“Kamu
sudah punya pacar?”
“Aku
tak menyebutnya demikian.”
“Tapi
bagaimana dengan Rita?”
“Kita
semua sudah dewasa, dia pasti bisa menerimanya.”
“Siapa
orang yang kamu cintai itu?”
“Kamu.”
Aku
kaku mendengar jawabannya. Angin dingin melewati leherku yang tidak
tertutup jaket. Aku menatap wajahnya lama sekali. Lalu menemukan
bahwa dia memang tidak sedang bercanda.
“Tidak
mungkin, kita baru kenal beberapa hari, bagaimana bisa kamu jatuh
cinta padaku.”
“Aku
akan menceritakannya suatu hari nanti. Tidak untuk sekarang.
Sebenarnya aku juga tak ingin mengatakan tentang perasaanku padamu
karena kamu baru mengenalku beberapa hari ini. Jangan dijawab dulu.
Pikirkan baik-baik.”
Aku
membisu.