.jpg)
“Siapa
yang mengantarmu pulang?” Sisca memperhatikan Renno yang menjauh
dari pagar rumah kami. Hanya terlihat punggungnya yang ditelan
kegelapan malam yang cukup dingin.
“Renno,
teman kerjaku.”
Aku
menjawab sekenanya sambil masuk dan meletakkan tasku di kursi. Aku
melihat televisi menyala di ruang tengah. Sisca pasti menungguku.
“Teman
kerjamu laki-laki? Bukannya kamu kerja di toko roti Rita?”
“Dia
koki baru.”
Sisca
mengunci pintu dan membawakan tasku ke kamar. Aku mengikuti
langkahnya. Kamar yang tadi pagi aku tinggalkan dalam keadaan
berantakan sekarang sudah rapi. Sisca memang pintar merapikan barang.
Berbeda denganku. Padahal kami saudara kembar yang berasal dari
indung telur yang sama. Entah mengapa kami malah menjadi sangat
berbeda dalam sifat dan nasib.
Sisca
pintar, lebih modis, dan rasanya memang lebih cantik dariku. Dia
pintar berdandan dan merawat diri. Apalagi dia sekarang seorang
dokter di rumah sakit terkemuka di kota ini. Aku hanya bisa menarik
napasku karena kecewa dengan diriku sendiri yang tak bisa mencapai
impianku seperti Sisca. Dia begitu bersinar.
“Mandilah,
aku sudah menyiapkan air hangat untukmu. Kamu pasti lelah kan?”
Sisca memberikan handuk untukku.
Aku
hanya menurut dan masuk ke kamar mandi. Menemukan air hangat di dalam
bak dan beberapa lilin aroma terapi menyala di sana. Sisca memang
sempurna. Kapan ya aku bisa seperti dia, sedikit saja. Aku
menyayanginya tapi terkadang rasa sayangku itu menjadi membuatku
semakin kecewa dengan diriku. Sejak kecil kami selalu
dibanding-bandingkan.
Aku
sekarang cukup dewasa untuk menerima Sisca memang lebih baik dariku
setelah sekian tahun berlalu. Namun aku juga ingin orang tuaku bangga
dengna semua yang aku lakukan. Mereka malah semakin tak peduli
denganku sejak Sisca berhasil menjadi dokter. Sedangkan aku masih
terjebak di toko roti Rita dan menyelesaikan novel-novelku yang
segera akan ditolak penerbit yang aku harap mau menerimanya.
Aku
melepas handuk yang melilit di tubuhku. Hawa dingin segera
menyergapku. Akan terasa semakin dingin jika aku tak segera masuk ke
air hangat di dalam bak mandi itu. Aku memejamkan mataku. Berusaha
menikmati dan menghilangkan kepenatan yang menderaku.
“Mau
aku gosokkan punggungmu, Sofia?” Sisca menyentuh bahuku lembut.
“Boleh...”
Saudara
kembarku yang sempurna itu menggosok punggungku sambil memijat
bahuku. Padahal aku tahu sendiri dia juga kelelahan sehabis bekerja
di rumah sakit. Aku menikmati pijatannya dalam diam dan mata
terpejam.