.jpg)
Kereta
berhenti di sebuah stasiun beberapa belas menit kemudian. Aku bangkit
dari dudukku. Lalu berjalan menuju pintu keluar yang segera terbuka.
Aku melewati laki-laki tukang cat itu yang kuamati diam-diam sejak
tadi. Renno mengikuti dari belakang. Kami berjalan dalam diam. Aku
terus saja menundukkan kepalaku. Sejak dulu aku selalu kesulitan
untuk mengeluarkan ekspresiku yang sebenarnya. Aku terlalu tak
percaya diri. Ada rasa rendah diri yang menggangguku. Tukang cat itu
masih berdiri di sana. Dia belum turun.
“Kamu
baik-baik saja?” Renno menggandengku.
“Iya,
aku baik-baik saja.”
“Kamu
pemalu sekali orangnya, aku rasa kamu pasti tak pernah punya kekasih
sebelumnya.”
“Memangnya
salah tak pernah pacaran sebelumnya?” aku berang seketika.
“Hey,
jangan marah dong Sofia. Aku cuma ingin tahu.”
“Memangnya
apa urusanmu aku pernah punya pacar atau tidak?”
“Tidak
apa-apa, aku hanya ingin tahu. Aku hanya ingin bekerja dengan
seseorang yang mau lebih terbuka denganku. Kamu pasti dekat dengan
Rita. Apa salahnya bercerita juga tentang kehidupanmu padaku?”
“Rita
dan aku sudah bersahabat sejak lama. Dia tahu aku. Kamu kan baru
kutemui hari ini, bagaimana mungkin aku menceritakan kehidupanku
padamu?”
“Kalau
kamu tak ingin kehidupan pribadimu diketahui orang selain Rita, kamu
harus mulai bisa menunjukkan sikap ceria dong.”
“Ceria?”
“Kamu
murung sekali sejak tadi pagi. Kamu ada masalah apa?”
“Tidak
ada.”
“Belajarlah
untuk tersenyum dan hidup ini akan terasa lebih ringan. Tertawalah
Sofia. Aku yakin senyummu akan membuat kamu terlihat manis.”
Aku
mengangkat kepalaku dan menatapnya. Tak pernah ada seorang lelaki pun
yang mengobrol sepanjang ini denganku. Aku terlalu malu untuk
menjawab setiap pertanyaan yang datang padaku. Tetapi Renno terus
saja mengejarku dengan banyak pertanyaan. Bahkan dia tak berhenti
bertanya meskipun jawabanku sepotong-sepotong.
Angin
dingin menyergapku lagi. Aku merapatkan jaket Renno yang kukenakan
sejak tadi. Renno semakin dekat denganku, seakan-akan dia ingin
membagi hangat tubuhnya denganku. Aku berdebar tak menentu. Aku baru
saja bertemu dengannya hari ini, tapi mengapa dia begitu
memperhatikanku? Tangannya yang besar berada di bahuku. Tangan yang
setiap hari bergumal dengan tepung dan gula. Bahkan harum tubuhnya
terasa seperti gula, manis. Aku tersenyum. Apakah tukang roti
semuanya akan tercium seperti ini? Apakah aku juga memiliki aroma
seperti itu?
“Nah
sekarang kamu tersenyum, terlihat sangat cantik, Sofia.”
Aku
berdebar tak karuan. Selama ini tak ada yang memujiku seperti itu.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Dia tersenyum lalu mendekatkan
bibirnya ke bibirku. Saat bibirnya menyentuh bibirku, tubuhku kaku.
Aku tak pernah dicium siapa pun sebelumnya sebagai seorang perempuan
dewasa. Aku memejamkan mataku dan menunggu ciuman itu berakhir. Renno
menutupnya dengna kecupan di dahiku. Aku membuka mataku dan mata kami
bertatapan. Aku semakin salah tingkah.
“Maaf
aku tak bisa menahan diriku, kamu sangat manis kalau sedang
tersenyum.” Renno membelai pipiku dengan tangan kirinya.
“Terima
kasih.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan.
Renno
langsung menarikku ke dadanya. Menenggelamkanku ke dalam dadanya yang
bidang. Harum tubuhnya semakin tercium olehku. Memelukku erat tanpa
kata-kata. Aku mendengarkan detak jantungku dengan telinga kananku
yang menekan dada kirinya. Kami berdiri di jalanan yang semakin sepi.
Lampu-lampu jalan menjadi saksi bisu. Aspal yang kami pijak diam
saja. Semilir angin dingin masih saja menggoda. Berada di dalam
dekapannya sangat nyaman. Hangat dan harum.
“Di
mana rumahmu?” Renno akhirnya melepaskanku dari pelukannya.
“Di
ujung jalan ini.”
“Masih
jauh?”
“Kamu
capek?”
“Bukan
aku yang capek Sofia, tapi aku takut kamu yang capek.”
“Aku
sudah terbiasa kok, tak begitu jauh lagi.”
Kami
mulai berjalan lagi. Langkah kami sangat pelan. Kali ini Renno
menggenggam tanganku lagi. Aku merapatkan lenganku ke lengannya dan
tersenyum.