.jpg)
Aku
dan Rita akhirnya selesai membersihkan toko roti yang seharian ini
kami jaga. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 lewat. Sudah saatnya
untuk pulang. Renno juga sudah berganti pakaian. Tak ada seragam
putih dan topi putih di kepalanya. Aku melepas celemek dan
menggantungnya di tempat biasa. Rita menatapku dan Renno bergantian.
“Aku
bisa pulang bersama supir ayah, Renno temani Sofia pulang ya?”
“Aku
bisa pulang sendiri kok.” Aku menolak dengan halus.
“Tidak
apa. Aku akan mengantarmu.” Renno menarik tas ransel yang belum
sempat aku kenakan.
“Aku
suka naik kereta. Tak perlu mengantarku. Lagi pula lebih cepat pulang
naik kereta.”
“Aku
akan naik kereta bersamamu.”
Aku
tak bisa menolak lagi sekarang selain membiarkan Renno mengikuti
langkahku sambil membawakan tas yang lumayan berat itu. Rita
melambaikan tangan pada kami. Aku membalasnya dengan senyuman tipis.
Lalu mulai melangkahkan kakiku melewati jalan yang biasa. Aku
berjalan di sisi kiri Renno dalam diam.
“Kamu
sepertinya sedang sakit?”
“Tidak,
aku baik-baik saja.”
Aku
terus melangkah dan mengunci bibirku. Renno sepertinya mengerti aku
sedang tak ingin berbicara dengannya. Aku sudah menghindari untuk
pulang bersamanya tapi sekarang aku malah harus diantar pulang
olehnya. Pikiranku kembali berisi tentang laki-laki yang aku temui
di Galaxy Express tadi pagi. Siapa namanya? Apa yang dia lakukan?
Apakah besok aku akan bertemu lagi dengannya?
Jalanan
mulai sepi. Bekas rintik hujan masih membasahi aspal yang semakin
pekat di bawah lampu jalan. Aku sedikit kedinginan. Akhir-akhir ini
memang hujan selalu turun malam hari. Tak begitu deras tapi cukup
membuatku menggigil.
“Seharusnya
kamu membawa jaket.” Renno menyampirkan jaketnya ke punggungku.
Membuatku sedikit hangat.
“Terima
kasih.”
“Tanganmu
pasti dingin.”
Renno
meraih tanganku dan menggenggamnya dengan tangan kirinya setelah
menaikkan ranselku ke punggungnya. Tangannya hangat. Membuat tanganku
sedikit panas. Tak pernah ada orang yang menggenggam tanganku
sebelumnya. Aku jengah. Pipiku pasti merona. Debaran jantungku
terdengar sangat keras.
“Jangan
pernah pulang sendiri lagi. Kamu perempuan.”
“Di
kereta banyak orang kok.”
“Terlalu
berbahaya.”
Perasaan
aneh ini tiba-tiba menghinggapi perasaanku. Renno yang baru kukenal
entah mengapa membuatku tenang. Membuat dadaku hangat. Apakah Rita
juga merasakan perasaan yang sama ketika bersama Renno?
“Masih
dingin?”
Aku
menggelengkan kepalaku.
“Besok
kubawakan sarung tangan, aku punya banyak di rumah, persiapan
menghadapi musim dingin, sekarang malah tak bisa digunakan karena aku
merasa suhu seperti ini tidak dingin.”
“Ini
dingin sekali.”
“Di
tempatku dulu musim panas saja 20 derajat. Di sini pasti dianggap
sangat dingin.”
“Mengapa
kamu ke sini? Kamu kan bisa buka usaha di tempatmu dulu? Kue buatanmu
enak sekali. Seharusnya kamu bisa membuka toko sendiri yang lebih
besar dari toko Rita.”
“Ada
sesuatu yang membuatku datang ke sini. Tapi rahasia. Aku tak akan
membaginya denganmu.”
“Maaf,
aku pasti sangat tidak sopan bertanya seperti itu denganmu.”
“Tidak
apa, banyak kok yang bertanya seperti itu padaku.”
Langkah
kami sudah semakin dekat dengan stasiun. Aku menghentikan pembicaraan
kami dan menarik tanganku. Aku segera membeli tiket untuk pulang.
Saat itu langkahku yang setengah berlari jadi melambat. Degub
jantungku hampir terhenti saat melihat sosok yang berada di depan
loket. Dia hanya berdiri di situ sambil memainkan ponselnya. Mata
kami bertatapan beberapa detik. Aku salah tingkah hingga akhirnya
Renno menyusulku.
“Jalanmu
cepat sekali.”
“Aku
takut loketnya tutup.”
“Biar
aku yang beli tiketnya.”
“Tapi...”
“Tak
apa...”
Renno
segera mengulurkan beberapa lembar uang dan menyebutkan jumlah tiket
yang ingin dia beli. Aku menunggu di belakangnya dalam diam.
Menundukkan kepalaku. Aku ingin mencuri pandang pada laki-laki itu
tapi aku takut mata kami bertemu lagi. Setelah Renno mendapatkan dua
tiket, kulihat laki-laki itu juga membeli tiket.
Dia
menungguku? Sejak kapan dia ada di sana?
Renno
menggenggam tanganku lagi namun segera aku tepis.
“Sudah
hangat kok, terima kasih.”
Aku
duduk di kursi yang tersisa. Banyak kursi yang kosong. Renno duduk di
kursi di depanku sambil mengamati wajahku. Aku menunggu laki-laki itu
masuk dengan rasa yang tak bsia aku gambarkan. Sesekali aku melirik
ke pintu kereta dan menarik napas lega saat dia berada di dalam,
bersama kami semua. Dia berdiri dengan posisi yang bisa kulirik
diam-diam.
Selama
dalam kereta yang melaju itu tak ada yang berbicara. Aku juga tak
ingin mengobrol dengan Renno. Aku hanya bisa mengamati laki-laki itu.
Laki-laki yang tangannya dipenuhi oleh bekas cat yang sulit
dibersihkan. Tukang cat itu. Aku merasa senang bisa berada dalam
kereta yang sama lagi dengannya.