.jpg)
Rita
menyambutku di depan pintu toko dengan tangan menyilang di dadanya.
Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Aku melewatinya saat masuk. Aku
bisa mendengar dia mengikutiku dari belakang. Aku diam saja sambil
meletakan tasku di bawah meja kasir dan segera menyambar celemek yang
tergantung yang biasa aku gunakan. Rita berdiri di sampingku menatap
semua hal yang aku lakukan.
“Ada
apa?” akhirnya aku tak sabar untuk mengetahui arti tatapan matanya
itu.
“Kamu
terlambat.”
“Masih
belum jam 10 kok. Masih kurang 5 menit.”
“Kamu
naik Galaxy Express kan? Seharusnya kamu tiba di sini 25 menit yang
lalu.”
“Terus?”
aku mengerling Rita.
“Ini
bukan kamu yang biasanya, Sofia.”
“Aku
hanya berjalan lebih lambat.”
“Jangan
bohong, kamu tadi datang dari arah yang berbeda. Ada sesuatu,
katakan, katakan.”
Rita
mulai menggelitik pinggangku dengan wajah nakalnya.
“Tidak
ada apa-apa. Aku hanya ingin jalan-jalan dan melewati tempat yang
baru.”
“Jangan
bohong aaaaahhh...” Rita terus saja menggodaku.
“Ih
kamu ini, Ta. Jangan gitu ah, nanti aku tak bisa konsentrasi bikin
kue nih...”
“Semua
kue sudah siap kok. Tak ada lagi yang perlu dibuat.”
“Kamu
membuatnya?”
“Kamu
belum kenalan dengan koki baru kita ya? Ganteng looo...” Rita
berbisik pelan sambil mencubitku dengan gemas.
Pantas
saja Rita sangat bersemangat hari ini. Aku bisa menebak koki itu
seperti apa. Ganteng, tinggi, putih, suaranya lembut, dan matanya
sipit. Jenis lelaki yang akan membuat seorang Rita terhanyut begitu
saja.
“Jadi
sekarang aku tak perlu bikin kue lagi?”
“Kita
berjaga saja di sini.”
“Memangnya
kuenya enak? Kok bisa tiba-tiba ada koki?”
“Ayahku
yang memasukkannya ke sini. Katanya dia koki terkenal di Eropa.
Entahlah, aku tak pernah melihatnya di televisi.”
“Kalau
dia koki terkenal seharusnya toko roti kecil begini tak mampu
membayarnya, kamu sudah memperhitungkan gajinya?”
Rita
tersenyum lebar lalu menggandengku.
“Itulah
bagian enaknya, aku tak perlu membayarnya.”
“Ayahmu
yang memasukkannya ke sini dan dia tak perlu digaji? Mencurigakan.”
Lonceng
yang digantung di depan pintu berbunyi membuat obrolan kami berdua
terhenti. Sekarang detak jantungku yang terhenti. Laki-laki yang
kutemui di Galaxy Express masuk dengan gerakannya yang sedikit cuek.
Dia langsung berdiri di depan kami berdua. Mata kami bertatapan
beberapa detik sampai akhirnya aku menundukkan kepalaku.
“Kue
cokelat kejunya satu, kopi tanpa gula satu.”
“Dua
puluh delapan ribu.”
Aku
menekan tombol mesin kasir dan menerima uang yang dia ulurkan.
Memberikan struk dan kembaliannya dalam diam.
“Terima
kasih. Pesanannya akan segera kami antar.” Rita langsung menyapanya
dengan ramah.
Laki-laki
itu memasukkan uang kembalian ke saku celananya dan duduk di meja
yang tak jauh dari meja kasir. Rita menatapku heran. Biasanya aku
akan menyapa semua pengunjung dengan senyuman termanis saat
memberikan uang kembalian.
“Kamu
takut sama orang itu?”
“Tidak...”
pelan sekali suaraku.
“Kamu
aneh hari ini, Sofia.”
Seorang
lelaki dengan seragam putih keluar dari pintu di belakang kami.
Bertatapan sebentar denganku lalu melempar senyuman dan mengulurkan
tangannya.
“Renno.
Kamu pasti Sofia.”
Tangan
kami bersentuhan beberapa detik sebelum aku terpaksa menariknya
karena laki-laki itu menahannya sedikit erat.
“Iya
aku Sofia.”
Rita
menyiapkan pesanan laki-laki yang tadi kutemui di Galaxy Express
dengan sigap. Berjalan membawa sepotong kue dan segelas kopi pahit
menuju satu-satunya meja yang terisi. Jam segini memang bukan jam
yang ramai. Pengunjung paling banyak datang pagi dan sore. Sedangkan
siang kebanyakan orang memilih rumah makan dibandingkan toko roti
ini.
“Boleh
tukaran nomor hape?” Renno mengejutkanku yang masih terdiam.
“Oh,
boleh.”
Renno
menyerahkan ponselnya, meminta aku mencatatnya di sana. Beberapa
detik kemudian ponsel itu aku kembalikan. Renno memeriksanya kembali
dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya.
“Aku
misscall ya, jadi nanti nomorku juga kamu simpan.”
Aku
menjawab dengan anggukan kepalaku. Perasaanku benar-benar tak
menentu. Aku yang berniat mengamatinya sekarang berada di dalam toko
yang sama dengannya. Kalau aku mau aku bisa saja menyapanya dan
meminta nomor ponselnya atau setidaknya bertanya namanya siapa. Rita
pasti mengizinkan, tapi rasanya itu cukup memalukan. Aku mengepalkan
tanganku berusaha tenang.