Aku
masuk ke dalam kereta setelah membeli tiket sekali jalan. Tas
ranselku sedikit memperlambat gerakanku sehingga banyak orang yang
berjalan mendahuluiku bisa mendapat tempat duduk lebih dulu. Aku
hanya menghela napas saat sadar harus berdiri di antara banyaknya
orang yang satu arah denganku. Berbagai macam bau bercampur aduk
menjadi satu. Padahal masih belum begitu siang. Baru pukul 9 lewat.
Tapi bau keringat di mana-mana. Untung tak ditambah asap rokok sebab
di dalam kereta ada pendingin ruangannya.
Lututku
menyentuh kaki seorang penumpang yang sedang duduk dengan keras saat
seseorang menabrak ranselku yang penuh buku. Referensi untuk aku
memulai debut novel pertamaku. Aku ingin belajar dari banyak novel
ternama dari berbagai generasi. Sayangnya sampai sekarang aku masih
terjebak di toko roti sahabatku. Tak ada satu novelku pun yang
diterbitkan. Aku memang belum menyerah namun aku kelelahan.
“Maaf...”
Mataku
bertatapan dengan sepasang mata lelaki yang dingin. Dia langsung
berdiri dan memberikan isyarat agar aku duduk di kursi yang tadinya
dia tempati. Ragu-ragu aku bergerak duduk dan mataku tak lepas dari
menatapnya.
Alisnya
tebal. Bibirnya yang merah kegelapan sesuai dengan kulit sawo
matangnya. Rambutnya yang ikal dikuncir rapi ke belakang. Tangannya
belepotan cat. Penuh warna. Dia berdiri di dekatku. Di posisi tadi
aku berdiri. Kami berhadapan dalam diam. Untuk pertama kalinya
darahku berdesir melihat seorang lawan jenis.
Dia
yang dingin terlihat sangat menarik. Dia juga baik. Meskipun dia tak
mengeluarkan kata-kata. Matanya yang tajam menatap ke depan kuamati
dalam diam. Saat aku terus menatap matanya dia tiba-tiba balik
menatapku. Tanpa sedikit pun senyuman.
Aku
merasa malu dan takut dalam waktu yang bersamaan. Aku akhirnya
menundukkan kepalaku. Tak mau lagi mata kami bertemu di waktu yang
sama. Bisa-bisa dia akan marah padaku. Tak berapa lama kereta tiba di
stasiun yang kutuju. Terburu-buru aku keluar bersama puluhan orang
lain. Dia juga keluar. Aku tak melepaskan pandanganku dari
punggungnya.
Kulirik
arloji di tangan kananku. Masih ada waktu sebelum jam kerjaku
dimulai. Aku masih bisa mengikuti langkah laki-laki itu. Aku
penasaran dia menuju ke mana. Aku menjaga jarak, jangan sampai dia
menyadari aku membuntutinya seperti seorang mata-mata.
Aku
masih bisa melihat kotak-kotak yang ada di kemeja yang dia kenakan
setelah kaos putih di dalamnya. Tapi aku berusaha menutupi wajahku
dengan sesekali menoleh ke belakang saat jarak kami tiba-tiba dekat.
Beberapa belas menit berlalu. Ternyata dia berhenti di simpang empat
kota. Lalu mengamati gedung-gedung yang baru selesai direnovasi.
Beberapa
orang menyapanya. Aku berhenti di bawah pohon akasia. Mengamati
gerak-geriknya. Dia bekerja sebagai kuli bangunankah? Aku dengan
sabar menanti apa yang dia lakukan hingga akhirnya aku melihat dia
mengeluarkan kuas dari dalam tasnya.
Baiklah,
dia tukang cat? Tukang cat yang terlalu keren. Aku pikir dia bisa
mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan dengan tampang seperti itu.
Wajahnya tidak begitu buruk. Tubuhnya juga kekar. Aku bisa melihat
tonjolan otot dadanya meskipun tak begitu besar. Setidaknya jangan
jadi tukang cat dengan tampang seperti itu.
Aku
berbalik dan mengambil jalan pintas menuju toko roti tempat aku
bekerja. Tak begitu jauh dari simpang empat ini. Hanya beda beberapa
blok.