Aku
turun dari mobil Tiara dan menemukan seseorang telah menungguku di
depan pagar. Wajah yang selama ini ingin aku hapus dari ingatanku.
Apalagi yang dia lakukan di sini? Setelah dia membuat hatiku hancur
berkeping-keping. Aku pikir dia akan memperjuangkan cinta yang dia
utarakan padaku. Tapi apa? Dia membuatku terpuruk dan kecewa. Danny.
Laki-laki
itu segera membantuku membawakan tas dan menungguku membuka pagar.
Tiara tak mengucapkan apa-apa. Dia tahu ini wilayah pribadi yang tak
bisa dia masuki. Aku mendorong pagar setinggi dua meter itu dengan
kedua tanganku. Langkahku diikuti Danny. Beberapa meter kami lewati
hingga akhirnya aku berada di depan pintu. Tergesa aku membuka pintu
rumahku dengan kunci di tangan kananku.
Danny
akan ikut masuk saat aku menarik tasku dari tangannya.
“Aku
bisa sendiri. Makasih.”
“Aku
ingin bicara.”
“Aku
capek sekali. Bisakah kita bicarakan semuanya besok?”
“Oline.”
“Seharusnya
kamu tahu tak ada yang bisa dibicarakan lagi di antara kita dan aku
masih berbaik hati mau memberikanmu waktu untuk bicara besok. Kalau
kamu tak mau tak apa. Aku tak akan memaksa.”
“Oline.”
Wajah
Danny sedemikian memelas.
“Kamu
tahu kan aku seperti apa?”
Laki-laki
itu tak menjawab, dia langsung merengkuhku dan menenggelamkanku dalam
pelukannya. Aku mendengar detak jantungnya yang sempat aku rindukan.
Aku mendengar desah napasnya. Aku juga mendengar dia menangis.
Isaknya pelan tapi menusuk hingga ke jantungku. Aku membiarkan dia
memelukku dalam diam. Setelah beberapa lama dia berbalik dan
meninggalkanku.
“Bicarakan
besok, di tempat biasa.”
Aku
meneriakinya. Lalu masuk dengan menyeret tasku. Lalu mengunci pintu
kembali.