Aku
mengemasi tasku. Memasukkan semua barangku dengan kasar. Aku kesal
dengan diriku sendiri yang membiarkan cinta membuatku terjatuh untuk
kesekian kalinya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
jatuh cinta tapi Fadli terlalu memesona untuk ditolak. Ternyata semua
pesonanya karena latihan bertahun-tahun ya? Dia kan ahlinya.
Aku
sama saja menantang seorang pelatih sepak bola untuk melakukan
tendangan penalti. Aku yang tak pernah menjaga gawang tentu saja akan
kalah telak. Tapi kalau boleh jujur, sekarang aku berharap Fadli
menghalangi kepergianku. Aku ingin dia memintaku dengan sangat untuk
menjadi kekasihnya.
Fadli
menatapku dari dekat pintu. Aku berhenti mengasari semua barangku.
“Kamu
mau ke mana?”
“Aku
mau pulang.”
“Hati-hati.”
Hanya
itu yang dia katakan. Lalu menghilang ke kamarnya. Aku mendengar dia
juga menutup pintunya. Begitu saja? Setelah semua yang terjadi?
Berarti aku benar? Aku hanya objek latihannya. Bodohnya aku!!!
***
“Kamu
tiba-tiba pulang? Masih lama kok batas liburanmu. Kamu bisa
menikmatinya lebih panjang di sana.” Tiara membantu mengangkat
koperku ke mobil setelah aku meninggalkan kapal kecil yang
mengantarku dari pulau.
“Kalau
aku terlalu lama di sana, aku bisa gila.”
“Gila?
Ada apa?”
“Aku
pikir kamu mengantarku ke pulau yang tak berpenghuni supaya aku tak
terganggu selama menenangkan pikiranku sendiri.”
“Memang
pulaunya sedang tak ada pengunjung, belum musim liburan.”
Kami
masuk ke mobil. Tiara berada di depan setir dan aku duduk di
sebelahnya dengan wajah merengut. Mobil melaju perlahan.
“Ada
seseorang di sana.”
“Cuma
satu orang? Tak begitu mengganggu dong seharusnya.”
“Masalahnya
dia itu ahli dalam menaklukan perempuan.”
“Terus
masalahnya di mana? Bagaimana mungkin seorang Oline bertekuk lutut
pada playboy cap kambing kan?”
“Itu
kalau aku tahu, Tiara. Masalahnya aku tak tahu dia siapa. Dia hanya
mengatakan dia jurnalis dan liburan di pulau itu sendirian.”
“Terus?”
“Dia
benar-benar membuatku gila.”
“Kamu
jatuh cinta padanya?”
“Tak
mungkin!”
“Kalau
memang kamu jatuh cinta padanya kenapa kamu pulang? Kamu harus
nyatain dong sama dia.”
“Dia
itu ahlinya cinta dan dia sedang mengadakan percobaan untuk
menaklukanku demi memperdalam ilmunya. Don't you get it, Tiara?”
“Owh,
kamu hanya bahan percobaan? Tapi dari mana kamu tahu itu?”
“Aku
membaca jurnalnya. Semuanya. Dia membuat perencanaan langkah apa yang
dia akan dia lakukan saat menghadapiku.”
“Jadi?”
“Aku
bodoh, aku akui aku sangat bodoh mempercayai bahwa di dunia ini ada
laki-laki yang akan membuatku merasa sangat bahagia seperti dia. Dia
membuatku merasa sangat sempurna. Rasanya dunia ini terlalu indah
kalau aku berada di dekatnya. Dia terlalu mustahil untuk disebut
kenyataan.”
“Kamu
tahu kan Oline, aku tak begitu peduli dengan apa yang kamu alami. Aku
hanya butuh kabar baik bahwa kamu akan menulis novelmu.”
“Tentu
saja aku akan menyelesaikannya.”
“Good.”
Padahal
aku bimbang dengan perasaanku sendiri. Mungkinkah aku mampu
menyelesaikan novelku dalam keadaan seperti ini?