Perlahan
aku membuka pintu dan melirik ke tempat tidur. Tak ada Fadli di sana.
Aku bingung bagaimana sekarang aku menghadapinya. Aku dengan kasar
menolaknya seakan-akan dia akan memperkosaku. Padahal aku tak tahu
apa yang dia inginkan. Kata-kataku keluar begitu saja. Aku lega dia
tak ada lagi di sini.
Aku
naik ke ranjang dan berbaring kembali. Dari sini aku bisa melihat ke
jendela kaca yang memperlihatkan tepian pantai pulau ini yang sangat
mungil. Aku bisa mengelilinginya dalam hitungan menit jika berlari.
“Aku
kira kamu tidak akan keluar lagi.”
Fadli
muncul di depan pintu kamarku dengan rambut yang basah. Dia sudah
mandi dan aku belum. Padahal aku yang duluan masuk ke kamar mandi.
“Kamu
belum mandi?”
Aku
mengunci bibirku. Tak tahu harus menjawab apa.
“Aku
buat sarapan untuk kamu.”
Sepiring
makanan yang dia sembunyikan di punggungnya dia letakkan di atas
tempat tidurku. Aku masih tak menyahut.
“Say
something.”
“I
am sorry.”
“Untuk
apa minta maaf Oline? Aku yang salah. Pasti kamu terkejut aku tidur
denganmu. Tadi malam kamu memelukku erat sekali dan aku tak bisa
membangunkanmu yang sudah tertidur nyenyak. Akhirnya aku tidur di
sampingmu.”
“Oh
ya?”
Fadli
mendekat. Aku menahan napasku beberapa detik. Menunggu dia akan
melakukan apa. Dia membelai rambutku kembali.
“Aku
yang seharusnya minta maaf. Sudah kurang ajar denganmu. Sorry.”
Aku
bisa merasakan bibirnya di atas kepalaku. Mengecup rambutku perlahan.
Aku diam saja. Diam.
“Katakan
kamu mau apa, supaya kamu memaafkanku?”
“Aku
ingin sendirian.”
“Okay,
aku akan membiarkanmu sendirian. Aku mau berenang sebentar.”
“Bukannya
kamu baru saja mandi?”
“Kamu
ingin sendirian kan?”
“Iya.”
“Aku
juga ingin sendirian.”
Fadli
berlalu dari hadapanku. Aku menyentuh piring yang berisi buah dan
telur mata sapi setengah matang. Dia tahu aku suka sarapan buah
dengan telor mata sapi? Dari mana? Aku tak memikirkannya saat perutku
mulai berbunyi. Kumakan semua yang ada di piring dengan lahap.
Sudah
satu jam berlalu. Fadli masih tak kembali. Aku clingak-clinguk
melihat situasi. Aku ingin ke kamarnya. Ingin mengenalinya lebih
dekat. Ingin tahu lebih banyak tentangnya. Saat aku menyadari
situasinya aman, aku menyelusup ke kamarnya yang memang tak dikunci.
Kamarnya
rapi. Tak banyak barang di dalamnya. Aku menghempaskan tubuhku di
ranjang dan menatap langit-langit kamarnya. Langit-langit inilah yang
setiap malam dia lihat sebelum tidurnya. Aku memiringkan tubuhku ke
samping dan melihat sebuah buku menyembul di bawah bantal. Diary?
Aku
membukanya. Ternyata bukan diary, hanya jurnal dan catatan. Aku
membuka lembar demi lembar dan saat berada di halaman terakhir aku
terkesiap. Ada namaku di sana. Dia menulisnya dengan tinta merah dan
huruf besar. Di bawah namaku aku membaca semua jejaknya. Semua
perlakuan yang dia berikan padaku. Dia merencanakan untuk mendekatiku
sejak awal? Merencanakannya dengan rinci?
Semua
yang ingin dia lakukan padaku? Ada beberapa yang ditandai dengan
coretan merah. Digaris dari ujung ke ujung memotong kalimat demi
kalimat. Ada beberapa yang masih belum terjadi dan belum ditandai.
Maksudnya apa ini? Mengapa ada catatan seperti ini?
Aku
yang tadinya tak berniat apa-apa saat ke sini mulai mencari
dompetnya. Aku harus menemukan dompetnya. Aku harus tahu dia siapa.
Dari laci meja aku menarik benda yang aku cari. Sebuah dompet hitam.
Tak ada apa-apa di sana selain kartu identitasnya. Aku membongkar
laci lebih dalam dan menemukan sekotak kartu nama. Kartu namanya.
Fadli. Di bawah namanya tertulis jabatannya. 'Dating Coach'.
Maksudnya? Apa maksudnya ini?
Seorang
pelatih kencan? Penakluk perempuan?
“Apa
yang kamu cari?”
Kotak
kartu nama itu terlepas dari tanganku. Semua kartu nama yang ada di
dalamnya terburai ke lantai.
“Apa
maksud catatan di jurnalmu Fadli?”
Matanya
bergerak ke arah jurnalnya yang sudah terbuka di bagian namaku.
“Kamu
'dating coach'? Kamu hanya menjadikanku objek penelitianmu? Objek
percobaanmu? Supaya kamu bisa mendapatkan ilmu baru untuk menaklukan
perempuan? Supaya kamu tahu caranya melatih laki-laki di luar sana
untuk mendapatkan perempuan sejenis denganku?”
Aku
berang. Mataku basah. Aku marah dan kesal pada diriku sendiri yang
membiarkan diriku jatuh cinta pada seseorang yang memang ahlinya
untuk membuat perempuan jatuh cinta. Dia tentu sudah sangat terbiasa
untuk membuat perempuan tergila-gila bahkan sampai menyerahkan
segalanya. Bodohnya aku tak menyadari hal itu.
“Apa
aku salah memiliki pekerjaan sebagai 'dating coach'?”
“Kamu
bilang kamu jurnalis di negaramu.”
“Aku
memang jurnalis, 'dating coach' hanya sampingan.”
“Iya,
dan aku bagian dari sampinganmu itu.”
Aku
menghapus air mataku dengan kasar.
“Kenapa
kamu harus kesal, Oline? Bukankah aku juga bagian dari novel yang
sedang kamu kerjakan? Kamu membiarkan aku melangkah ke dalam
kehidupanmu hanya untuk mendapatkan novel yang bisa dijual laris di
pasaran bukan?”
Aku
semakin berang. Dia membaca catatan harianku. Pasti tadi malam dia
membaca semuanya. Dia melihat bagian diriku yang tak pernah aku
perlihatkan kepada orang lain.
“Aku
benci kamu!”
Aku
berlari ke kamarku sebelum tangisanku semakin tak terbendung lagi.
Aku mengutuk semua yang telah terjadi. Bodohnya aku jatuh cinta
padanya.
Bersambung.
gambar: weheartit.com
gambar: weheartit.com