Bagian 1
Aku
terbangun saat menyadari napas hangat menerpa dahiku. Aku tercengang
saat menyadari Fadli ada di dalam selimut bersamaku. Perlahan aku
bergerak mengintai ke dalam selimut. Wah, untunglah tak terjadi
sesuatu yang tak aku inginkan. Dia masih mengenakan pakainnya. Aku
juga masih mengenakan pakaian lengkap.
Aku
berusaha mengumpulkan ingatanku. Mengingat kembali kejadian semalam.
Setelah makan malam yang menyenangkan itu. Dia menggendongku ke
tempat tidur dan membacakan dongeng hingga aku tertidur. Hanya itu
yang aku ingat. Fadli masih terlelap. Wajah tidurnya. Baru kali ini
aku melihat betapa wajahnya terlihat sangat damai. Wajah yang tak
memikirkan apa-apa.
Tangan
kiriku menyentuh dahinya. Bergerak ke kupingnya. Lalu membelai
pipinya. Jemariku semakin berani mendekati bibirnya. Saat jemariku
bersentuhan dengan bibirnya, aku terkejut bukan main. Fadli membuka
matanya. Matanya merah.
“Kamu
sudah lama bangun?”
“Baru
saja kok.”
Aku
salah tingkah dan segera menarik jemariku. Malu. Pipiku memerah.
“Kamu
mau sarapan apa?”
“Apa
aja...”
“Apa
aja?” Fadli mengulang jawabanku dengan nada tanya.
“Iya,
apa aja, kamu pinter masak kok. Aku yakin kamu bisa masak sarapan
yang enak untukku.”
“Aku
tidak mengatakan akan memasak sarapan untukmu.”
“Lantas?”
“Kamu
sendiri mau sarapannya 'apa saja' kan?”
Aku
tak mengelak ketika dia mendekatkan bibirnya ke dahiku. Mengecupnya
lembut. Lalu Fadli mendaratkan bibirnya menyentuh bibirku. Aku
tenggelam dalam ciumannya yang hangat pagi itu.
“Kenapa
kamu menciumku?” aku sontak bertanya ketika ciuman itu berakhir.
“Karena
aku menginginkannya.” Fadli menarikku ke dalam pelukannya yang
erat.
Bukan
jawaban itu yang aku inginkan. Aku ingin mendengar lebih. Aku ingin
kamu mengatakan karena kamu mencintaiku Fadli.
“Aku
rasa ini cuma mimpi, aku tidak akan mencium orang asing.”
“Kamu
mengatakan aku orang asing? You hurt me, Oline.”
Aku
mendongak dan dia menciumku kembali. Kali ini lebih dalam. Aku bisa
merasakan tangannya bergerak ke seluruh tubuhku. Segera aku
mendorongnya. Tak ingin semuanya terjadi dan aku menyesalinya.
“No,
no sex.”
Aku
bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Aku sungguh
terkejut karena Fadli berpikir aku akan sejauh itu bermesraan
dengannya. Berciuman dengannya saja sudah cukup gila.