Bagian 1
Tepian
pantai ini menjadi saksi betapa indahnya pemandangan yang sekarang
kita saksikan berdua. Seandainya aku mengenalmu lebih dulu, Fadli.
Mungkin tak akan seperti ini. Hatiku yang dulunya percaya pada
keabadian cinta sekarang mulai takut menyentuhnya. Aku hanya bisa
membiarkan tanganmu sepanjang jalan menggenggam tanganku.
“Kamu
cantik sekali hari ini, semakin hari aku melihatmu semakin cantik.”
Fadli membuyarkan pikiranku yang membuatku terdiam sepanjang jalan.
Cahaya
matahari yang menerpa kita sore ini menjadi saksi betapa inginnya aku
waktu berhenti. Mengabadikan kita berdua di sini. Tak ada orang lain
kecuali penjaga rumah singgah yang kadang muncul kadang tidak.
Berbicara pun dia jarang.
“Pastinya
perempuan secantik kamu sudah memiliki kekasih hati.”
“Entahlah,
aku bingung mengatakannya. Aku bahkan tak tahu bagaimana sebenarnya
posisiku di kehidupannya.”
Danny,
bayangannya tiba-tiba menyentakkanku. Ingin rasanya aku kembali ke
belakang untuk mengubah semuanya. Kembali pada hari-hari aku belum
mengenal Danny. Rasanya menyakitkan mengingat bahwa bertemu dengannya
sebuah kesalahan yang membuat kehidupanku kacau-balau.
Fadli
bergerak semakin dekat dan menenggelamkanku dalam pelukannya.
“Menangislah
jika itu membuatmu tenang.”
Sore
itu, matahari sore menyaksikan aku menangis dalam dekapan Fadli.
Dadanya yang hangat. Tangannya yang besar. Aroma tubuhnya yang harum.
Semuanya membuat aku sesak dan menangis tersedu. Apa yang kurasakan
sekarang? Ada apa denganku. Apakah Fadli telah berhasil menyentuh
hatiku?
Di
dalam kamar aku termenung. Aku baru menyelesaikan bab pertama cerita
cinta yang akan aku persembahkan pada Tiara. Tapi sekarang aku
bingung melanjutkannya. Rasanya tak adil memanfaatkan Fadli seperti
ini. Dia sudah sedemikian baik. Menemaniku. Membiarkan aku
menghempaskan laraku di dadanya. Apakah kali ini aku harus membuka
hati kembali pada cinta yang baru? Tapi bagaimana kalau Fadli tak
membalas perasaanku? Bisa jadi dia hanya berusaha bersikap baik
padaku. Bukankah laki-laki memang demikian? Selalu baik pada
perempuan yang berada di dekatnya? Lantas saat sang perempuan jatuh
cinta mereka berbalik menggunakan cinta itu untuk menghancurkannya?
Apa
sih yang aku pikirkan?
“Kamu
belum makan, mau makan denganku? Aku akan masak.”
Laki-laki
berambut lurus sebahu tersebut muncul di depan pintu kamarku. Aku
berusaha untuk tersenyum dan menyembunyikan air mataku. Senyumannya
begitu lebar membuat hatiku semakin hangat. Barangkali Tuhan
mengirimkan Fadli untuk menyelamatkan kapal hatiku yang hampir karam.
Di
dapur aku memperhatikan Fadli yang sibuk memotong sayur dan
bumbu-bumbu masak.
“Kamu
duduk saja.” Fadli mencegahku mengambil pisau.
“Tidak
apa, aku akan membantumu.”
“Melihat
tanganmu saja aku sudah tahu kamu tak bisa memasak.”
Fadli
mengecup telapak tanganku lembut. Aku menahan napas saat bibirnya
mendarat beberapa detik di sana. Ketika dia mengangkat wajahnya, mata
kami bertemu dan dia mengusap kepalaku. Debaran di jantungku, apa
ini?
“Aku
akan membantumu.”
Fadli
berdiri di belakangku dan meletakkan dagunya di atas kepalaku.
“Kamu
mau masak? Boleh, aku akan berdiri di sini memperhatikanmu.”
Aku
segera menghindar. Tak tahan dengan debaran jantungku sendiri.
“Kamu
saja yang masak.”
Malam
itu, dia menyuapiku sambil mendudukkanku di pangkuannya. Suap demi
suap makanan yang dia masak masuk ke mulutku. Tapi semuanya terasa
tawar saat aku melihat senyuman manisnya.
Tuhan,
jangan katakan aku sedang jatuh cinta.
Bersambung
Gambar dari Weheartit.com