“Tunggu!”
Fadli
menyambar tangan kananku yang segera kusentakkan.
“Apa
kamu belum juga mengerti?”
Beberapa
wartawan sekarang menyusul kami. Aku berdiri di depannya tanpa berani
menatap matanya. Aku tak mau lagi hanyut dalam mata sipit itu. Sudah
cukup dia mengacaukan kehidupanku. Aku tak akan mengulangi kesalahan
yang sama.
“Kamu
masih belum paham?” Fadli mengulang pertanyaannya.
“Tak
ada yang perlu aku pahami.”
“Baca
ini.”
Fadli
meletakkan novel Deadline Love di tanganku. Novelnya lebih tebal dari
novel yang aku tulis. Dia tak mengatakan apa-apa sebelum akhirnya dia
yang meninggalkanku lebih dulu. Wartawan memotret semuanya. Beberapa
di antaranya terus merekam. Aku membawa novel itu pergi. Aku hanya
ingin pulang. Tenggelam dalam selimut di ranjangku dan membaca seisi
tulisan di dalam novel itu.
***
Aku
membuka lembaran demi lembaran dari novel itu ditemani secangkir
cokelat panas di atas meja. Selimut menutupi setengah dari tubuhku.
Aku bersandar di bantal. Aku terhanyut pada caranya bercerita. Jika
Sang Penasihat aku menulis dari sudut pandangku mengenai 'hubungan'
kami saat liburan kemarin sekarang aku membaca Deadline Love yang
bercerita dari sudut pandangnya.
Aku
tiba pada bagian yang aku tunggu. Bagian aku mengemasi
barang-barangku karena marah. Karena aku mendapati catatannya untuk
menaklukkanku. Aku mengetahui dia seorang 'dating coach'.
Deadline
Love, Fadli
Perempuan
itu pergi. Perempuan yang membuat cara pandangku tentang perempuan
berubah. Dia berbeda dari semua perempuan yang pernah aku taklukan.
Dia tidak jatuh dengan cara yang aku berikan. Dia berbeda atau rasaku
yang berbeda padanya? Apakah ini yang namanya cinta? Hal yang selama
ini hanya teori buatku. Bahwa perempuan hanya objek. Perempuan punya
kelemahan dan bisa ditaklukan dengan pengetahuan yang aku miliki.
Dia
tidak jatuh dengan cara yang aku inginkan. Aku bahkan tak tahu apakah
dia jatuh cinta padaku. Hal yang selama ini tak pernah aku pikirkan
tentang perempuan mana pun. Aku tak pernah berharap ada perempuan
yang akan bertahan di sisiku selamanya. Namun dia adalah satu-satunya
perempuan yang membuatku berpikir untuk berhenti mencari. Dia jawaban
untuk semua hal yang aku pertanyakan di dalam kehidupanku sendiri.
Bodohnya
adalah aku membiarkannya pergi. Begitu saja. Tanpa sempat mengatakan
betapa aku inginnya aku terus berada di sisinya.
Aku
tak sanggup melanjutkan membaca novel itu. Mataku basah oleh air
mata. Pergolakan di dalam jiwaku menjadi satu. Hatiku sakit menyadari
aku telah menyakitinya. Di sisi lain aku tak ingin menyerah kalah dan
menyatakan isi hatiku. Aku memang mencintainya. Tapi aku tak ingin
begini. Rasanya tak menyenangkan.
“Sampai
kapan kamu mau menangis di situ?” Fadli muncul di depan pintu
kamarku dan tangan kirinya memegang novel 'Sang Penasihat'.
“Bagaimana
kamu masuk ke sini?”
“Tiara
yang memberikan kunci rumahmu padaku. Aku sudah menekan bel
berkali-kali tapi tak ada yang membukakannya. Aku takut terjadi
sesuatu padamu.”
“Apa
pedulimu?”
“Aku
sudah baca novelmu, Oline.”
“Itu
fiksi, kamu pikir aku benar-benar seperti perempuan di dalam novel
itu?”
“Oline.”
Aku
menyibakkan selimut dan keluar dari kamar. Aku takut dia akan
menyerangku dan yang lebih menakutkan lagi aku tak mampu menolaknya.
Aku sangat merindukannya.
“Aku
suka novel kamu.”
“Terserah,
sekarang kamu boleh pulang. Aku baik-baik saja.”
“Aku
belum mengambil milikku yang aku tinggalkan.”
“Novelmu?
Sudah selesai kubaca, nih.”
Fadli
menarik wajahku dan mendaratkan ciuman di bibirku. Aku berusaha tak
membalasnya tapi kekuatan egoisku tak lebih besar dari kerinduanku
padanya, aku membalasnya. Melingkarkan tanganku di lehernya. Saat
ciuman itu berakhir dia hanya tertawa. Aku merasa dikhianati oleh
tubuhku sendiri.
“Aku
tidak akan mengulangi ini, jadi dengarkan baik-baik.”
Fadli
terlihat malu. Pipinya bersemu merah. Aku menatap matanya dan
tenggelam untuk ke sekian kalinya. Aku benar-benar tak bisa menolak
pesonanya.
“Menikahlah
denganku. Aku hanya mau kamu yang jadi perempuan terakhir dalam
hidupku.”
Aku
merasakan perutku penuh oleh kupu-kupu yang menggelitik hati dan
jantungku. Aku hanya mengangguk. Hanya bisa menjawabnya dengan
anggukan kecil kemudian aku mendaratkan bibirku ke bibirnya setelah
dia mengenakan cincin di jemariku.