Beberapa
tahun sebelum dia meninggal, saat asmanya kambuh, saat kepalanya
sakit karena tekanan darahnya naik, Aki akan meliburkan diri. Tak ada
pertemuannya dengan sawah hari itu. Dia akan duduk sambil memegang
kepalanya. Saya selalu duduk menungguinya saat dia sakit begitu. Saya
batal bermain dengan teman-teman dan menemaninya ngobrol.
Aki
suka sekali mengganggu saya dengan pertanyaan.
“Gemanelah
pun Aki mati?” (Bagaimana kalau Aki meninggal?)
Jawabannya
tak akan keluar dari bibir. Saya tak bisa menjawabnya dengan
kata-kata. Karena habis pertanyaan itu saya akan menangis
meraung-raung. Saya tak rela dia meninggal dunia. Saya waktu itu
masih lagi duduk di bangku SD dan Aki senang mengganggu saya dengan
pertanyaan seperti itu. Kemudian dia tertawa terbahak-bahak melihat
saya menangis. Sepertinya Aki senang, menyadari bahwa saya sangat
menyayanginya. Walaupun saya tak pernah bisa mengatakannya secara
langsung padanya.
Setelah
kepergiannya, saya harus masuk sekolah lagi karena liburan sudah
berakhir. Saya yang duduk di kelas dua SMA, setiap malam akan
menangis karena sejak saat itu dunia tak lagi sama. Dunia akan
berbeda. Di dunia yang sekarang saya tinggali ini, tak ada lagi Aki
yang sangat menyayangi saya. Laki-laki yang selalu saya rindukan di
kampung sana.
Bahkan
saya belum sempat menunjukkan padanya saya menjadi seperti apa
sekarang. Tak sempat dia melihat saya yang membesar menjadi seorang
perempuan dewasa. Tak ada lagi aroma tubuh yang membuat saya merasa
tenang setiap berada di rumah dan tak ada lagi orang yang saya tunggu
pulang dari sawah dengan sepeda 'sepor' hijaunya.