Seorang
lelaki yang akan selalu menjadi ayah nomor satu di dalam kehidupan
saya adalah kakek saya. Saya menyebutnya Aki. Kependekan dari Nek
Aki. Di kampung saya memang kakek-kakek selalu dipanggil dengan
panggilan Aki.
Saya
ingin sekali membuat tulisan khusus untuknya yang lebih panjang dan
saya rasa ini adalah saat yang tepat.
Saya
tinggal bersamanya dan menjadi 'anak kesayangannya' saat adik saya,
Desilva, lahir ke dunia. Tahun 1988 akhir, adik saya lahir dan saya
dititipkan di rumah Aki dan membesar bersama kakak sulung saya. Aki
seorang petani dan Pak Labay. Labay itu mirip dengan tetua di
kampung. Tapi bukan Pak RT atau RW. Biasanya Labay dimintai tolong
untuk memimpin doa atau menjadi imam di mesjid.
Itulah
Aki saya. Dia pintar mengaji. Hapal banyak ayat Al-Quran. Baik
panjang atau pendek. Dia tak akan bisa diganggu kalau sedang menonton
tayangan tilawah Al-Quran di televisi. Kadang-kadang di rumah dia
suka menggendangkan redang. Kalau redang sendiri adalah nampan bulat
dan besar untuk menyajikan makanan saat kenduri. Nanti saya akan
menceritakannya lebih detail di tulisan yang berbeda.
Redang
adalah pengganti alat untuk Aki berdendang. Dia akan menyanyikan
dzikir-dzikir yang biasanya digunakan di dalam pesta pernikahan atau
acara selamatan di kampung. Kalau diingat-ingat hingga detik ini,
hingga tulisan ini diterbitkan, saya masih mengenal suara Aki. Saya
masih bisa membayangkan suaranya memanggil saya. Suaranya saat dia
sedang sakit, batuk-batuk ketika asma, atau ketika dia sedang ngomel
di rumah.
Satu
hal yang tidak dia lakukan adalah membentak saya. Dia memang memiliki
riwayat hipertensi dan sering kepalanya sakit karena tekanan darahnya
naik. Dia selalu berusaha menghindari masakan yang mengandung sapi.
Namun terkadang dia pulang sambil memegang kepalanya dan mengatakan.
“Tadek
makan di rumah si XXX be, nyaman lalu masakan daginnye.” (Tadi
makan di rumah si XXX, enak sekali masakan daging sapinya.)
“Kakiye?”
(Terus?) ini biasanya Uwan yang akan menanyakan.
“Padahal
jak sikit be makannye, tapi tang panning palak tok e.” (Padahal
makannya cuma sedikit, tapi kepala kok jadi pusing ya?)
Setelah
itu siap-siap mendengar Uwan mengomel. Istilahnya, sudah tahu darah
tinggi dan tidak boleh makan yang mengandung kolesterol. Masih saja
dimakan.