
Aku masih mengingat dengan jelas
pertama kali kita bertemu. Bagaimana warna kaosmu yang kebesaran menarik perhatianku
hari itu. Tutur katamu yang sangat lucu. Senyuman yang lepas dari bibirmu. Dari
banyak orang yang ada di ruangan itu rasanya kamu bersinar terang membuat
wajahmu berkilauan. Seperti bidadari yang menjejakkan kakinya di bumi yang
gersang.

Kamu bagaikan tetesan air di tengah
padang yang kemarau. Kamu yang polos dan sederhana. Kamu bahkan menerima aku
yang tiba-tiba datang mendekati mejamu di sudut untuk ikut makan siang bersama
kamu dan teman-temanmu. Teman-temanmu yang semuanya lelaki. Entah kekuatan mana
yang membuatku berani melakukan itu. Rasanya aku tak rela kamu hanya tertawa
bersama lelaki lain. Ingin kuabadikan senyumanmu hanya untukku.

Kamu seharusnya hari itu bertanya
mengapa aku makan siang di meja yang kamu tempati. Meja yang paling sudut dan
seharusnya aku duduk dengan teman-teman yang sudah aku kenal sebelumnya. Tapi suaramu
yang jernih bagaikan magnet. Tawamu yang renyah terus memanggilku. Lalu aku
harus mengatakan bahwa aku tak menyesal saat memutuskan untuk duduk di meja
yang sama denganmu. Berhadapan dan bisa menatap wajahmu lebih dekat dari
sebelumnya.

Aku bersyukur hari itu menjadi
seseorang yang berani untuk menunjukkan bahwa aku tertarik denganmu. Kamu terlalu
istimewa untuk dilewatkan dan aku tak ingin ada orang lain yang berada di
sampingmu selain aku.

Padahal aku tahu, kita akan berpisah,
tapi tetap saja aku mendekatimu. Ingin memetikmu dan membawamu pulang ke
pelukanku. Satu malam saja. Rasanya sudah cukup bagiku untuk menunjukkan padamu
bahwa ini rasaku. Tapi tahukah kamu, sekarang rasa itu menjadi semakin kuat. Jarak
kita yang semakin jauh rasanya membuatku ingin segera mendatangimu. Hanya untuk
mengecup bibirmu sekali lagi.
Sebab kamu selalu membalasnya.
Gambar: Weheartit.com