Pulau ini akan sangat menenangkan. Sepi. Hampir tak ada
manusia lain di pulau ini kecuali seorang penjaga pulau dan sebuah rumah
singgah yang terletak tak begitu jauh dari pantai. Tentu saja tak akan jauh,
pulaunya sangat kecil dan di kelilingi oleh lautan. Aku rasa Tiara sudah sangat
kesal padaku, ini bukan liburan. Dia sengaja membuangku ke sini.

“Sendirian?”
Aku membalik tubuhku dan menemukan seseorang laki-laki
bertubuh basah dan kulit yang agak gelap tersengat matahari. Hanya mengenakan
celana sepaha. Sepertinya baru selesai berenang.

“Yeah, sepertinya aku sendirian jika kamu tak menghitung
berapa banyak pasir yang sekarang menemaniku sekarang ini.”

“Fadli.”
Dia mengulurkan tangannya. Wajahnya menarik. Senyumannya mungkin
akan meluluhkan banyak hati wanita. Dadanya yang bidang tentu akan sangat
memikat diabadikan dengan kamera. Begitu berbeda dengan Danny-ku. Ah lagi-lagi
aku mengingatnya.
“Oline.”
Aku menyambut uluran tangannya. Sedetik kemudian pegangan
tangan kami terlepas.
“Kamu bukan dari Indonesia?”

Aku menebak, mencoba mencairkan suasana. Dia tersenyum dan
menggeleng. Kami mulai melangkah menyisir pantai. Aku menggenggam kayu yang aku
gunakan untuk mencoret pasir.
“Saya dari Kuala Lumpur.”

Aku sudah bisa memperkirakannya. Bahasa melayunya terdengar
masih kental. Wajahnya juga menunjukkan itu. Tipikal wajah orang dari negara
tetangga.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Liburan, sama seperti kamu Oline.”
“Kamu tahu dari mana aku liburan? Bisa saja aku dibuang
keluargaku di sini.”
“You are so funny.”

“Semua orang bilang begitu, tapi aku tidak sedang melucu lo.”
“Itu lebih lucu lagi.”
Aku tersenyum tipis.
Aku tersenyum tipis.
“Kamu pasti menginap di rumah yang sama denganku.” Dia menebak dengan tepat.
Fadli, berusaha mengikuti bahasa Indonesiaku dengan
bahasanya yang masih patah-patah.
“Cuma ada satu rumah singgah di sini, sempurna bukan? Tak ada
orang lain selain kita. Seperti sedang berbulan madu.”

“Kamu sudah pernah menikah?”
“Apa aku terlihat seperti seorang perempuan yang baru habis
bercerai, stress berat lalu berniat bunuh diri di pulau yang sepi ini?”
“That’s so funny.”
“Tell me Fadli, apa yang kamu lakukan di sini?”
“Seorang jurnalis yang terdampar di pulau yang hampir tak
berpenghuni. Tapi sekarang ada kamu di sini, Oline.”
Sempurna, pulau sepi, sekarang bertemu turis yang sendirian,
dia merayuku dan berharap aku jatuh cinta padanya. Dia belum tahu betapa aku sedang
anti menjalin hubungan dengan laki-laki.
“Are you hitting on me?”
“Oops sorry, didn’t mean to.”
“Terdengar seperti itu.”
“Aku hanya merasa senang ada orang lain yang bisa aku ajak
bicara selain penjaga rumah singgah.”
“Memangnya kamu sudah lama di sini?”
“Hampir satu minggu.”
“Masih lama di sini?”

“Menunggu panggilan selanjutnya.”
“Panggilan apa?”
“Penugasan, tapi aku harap masih lama, aku suka di sini.”
Bayangan Tiara berkelebat. Mengingatkanku tentang deadline
yang harus aku selesaikan. Jika Fadli bisa menjadi inspirasi menulisku
selanjutnya, mungkin tak apa-apa mengenalinya lebih dekat. Bahkan aku akan
membuatnya tergila-gila padaku. Kemudian aku akan membuat novel yang laris manis
lagi di pasaran.
“Kamu bisa mengajariku berenang Fadli? Aku tak bisa
berenang.”
“Bisa, tentu saja bisa.”

Senyumannya terlihat sangat lebar. Seperti seekor musang
yang menatap anak ayam yang siap menyerahkan dirinya. Maaf Fadli, sekarang kamu
hanya cicaknya dan akulah buayanya.
Gambar: Weheartit.com
Gambar: Weheartit.com