Menulis fiksi buat saya paling mudah adalah ketika saya
bisa merasakan apa yang tokoh di dalam cerita rasakan. Kalau saya kesulitan
merasakan apa yang ‘dia’ rasakan saya akan menjadi beku dalam ide. Kesulitan mencairkan
jalan cerita. Terhenti pada bagian yang tak berujung.

Jangan tanya soal endingnya yang sebenarnya sudah ada di
dalam kepala. Pada akhirnya saya lebih lancar bercerita melalui lisan saja.
Kuncinya buat saya adalah kamu harus merasakannya. Semua perasaan
yang ada di dalam cerita yang sedang dituliskan. Makanya ketika saya menuliskan
tentang Nekad, itu menjadi cerbung yang paling cair yang bisa saya tuang. Saya pikir
karena saya merasakan apa yang ‘dia’ rasakan. Bahkan saya ingin menjadi ‘dia’. Padahal
dalam banyak sisi kami begitu berbeda.

Tapi saat menyelesaikannya dan happy ending rasanya saya
juga mendamaikan perasaan saya sendiri. Berdamai dengan banyak rasa yang
berkecamuk di dalamnya. Menenangkan hati sendiri terkadang memang cukup
menyulitkan. Tapi jika ditanya apakah saya bahagia menjadi diri saya sendiri? Saya
akan menjawabnya di postingan yang lain. Sebab ini ingin membahas soal
penulisan fiksi saya yang mentok akhir-akhir ini. Ini bukan writer block, sebab
saya bisa menuliskan ide-de yang lain yang ada di dalam kepala.

Hanya ada bagian yang sulit saya diamkan. Endapannya masih
bercampur dengan cairan hingga bagian atasnya. Ah saya rasa saya menuliskan ini
dalam keadaan kerasukan.