Seseorang pernah mengatakan kepada
saya bahwa orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang paling
berpotensi menyakiti kita. Mungkin itu alasan pertamanya dia tidak mau didekati
oleh siapa pun. Teman dekat sesama jenis dia masih punya walaupun hitungan
jari. Tetapi tentu kita tak bisa menyalahkan cara pandangnya terhadap kehidupan
ini.

Dia ingin beranggapan demikian
tentang kehidupannya, biarlah memang seperti itu adanya.
Bila direnungkan secara mendalam
memang apa yang dia ucapkan ada benarnya. Sekali lagi ada benarnya. Lantas kebenaran
yang di dalamnya itu apakah benar harus dipegang sebagai pedoman untuk
menjalani kehidupan?
Menurut saya, memang benar adanya orang
yang paling dekat dengan kitalah yang paling berpotensi menyakiti kita. Coba tanya
pada diri kita sendiri berapa kali kita dibuat menangis oleh orang yang kita
cintai. Berapa banyak mereka mengecewakan kita? Berapa banyak dia meninggalkan
luka di hati kita?

Tapi kemudian yang menjadi pertanyaan
adalah seberapa pantas kita untuk mempertahankan kedekatan kita dengannya? Seberapa
kuat kita untuk mencintainya dengan keadaan penuh luka seperti itu? Lebih besar
mana rasa cinta kita terhadap dirinya atau rasa cinta kita kepada diri kita
sendiri. Apakah kita lantas memilih untuk menutup diri dari cinta yang
seharusnya bisa kita reguk dari sekitar kita dan menghindari semua luka yang
bisa jadi menyertainya?
Hidup itu masalah pilihan. Teman saya
memilih untuk tidak terlalu banyak dicintai dan mencintai orang, sebab dia tak
ingin mendapat kemungkinan terluka yang banyak pula. Namun, kita tak akan
pernah tahu jika kita tidak mencoba. Kita tidak akan pernah tahu cinta mana
yang benar-benar sejati untuk membahagiakan kita.
Luka, pasti akan menyertai cinta itu.
Kembali lagi pada diri kita. Apakah kita cukup kuat untuk menerimanya?