![]() |
http://www.flickr.com |
Setiap orang punya keanehan masing-masing yang bisa jadi hanya dia
pendam sendiri atau memiliki ketakutan pada beberapa hal yang ada di dunia ini
dan hanya dia yang bisa memahaminya.

Jika saya berhadapan dengan alat musik yang suaranya menurut saya
menakutkan akan sangat sulit menjelaskannya kepada orang lain yang tidak memiliki ketakutan yang sama. Misalnya gong
atau gamelan, bahkan hanya gema-gema di dalam ruangan, menurut penderita
ligyrophobia adalah sesuatu seperti monster yang akan menyantapnya hidup-hidup.

Fobia terhadap suara sebenarnya terdeteksi sejak lama sekali. Saat saya
masih sangat kecil dan belum terlalu mampu mengingat banyak hal. Nenek saya
yang menyadarinya pertama kali saat saya menangis tersedu-sedu mendengar suara
tanjidor yang digunakan orang saat pesta pernikahan. Kebanyakan saya hanya
menceritakannya di blog ini tanpa bisa mengatakan bagaimana rasanya sebenarnya,
bagaimana menakutkannya.
Ligyrophobia adalah fobia terbesar saya yang tak akan terkalahkan oleh
ketakutan yang lain.

Keringat dingin, jantung berdetak kencang, napas yang terengah, wajah
pucat pasi, hanya dengan melihat benda yang bisa menimbulkan suara yang
menakutkan seperti dentingan atau gema-gema.
![]() |
http://www.flickr.com |
Hingga akhirnya, setelah sekian lama
menderita mengenai fobia ini sendirian, saya bertemu dengan Chan yang menderita
Lachanaphobia. Barangkali ada orang yang masih mau mengerti ketakutan orang
lain mengenai suara yang keras, yang berdenting, atau yang bergema.

Tapi Lachanaphobia?
Selain orang ahli di bidang kejiwaan, seperti psikoterapis, hanya orang yang
memiliki fobia sendiri yang memahami bagaimana menakutkannya Lachanaphobia. Tak
peduli bagaimana bedanya fobia yang mereka alami. Orang yang sama-sama memiliki
fobia tertentu dengan bijaksana akan memahami ketakutan seseorang mengenai
sesuatu.

Lachanaphobia sendiri adalah ketakutan terhadap sayuran, dalam kasus
Chan, dia takut terhadap sayuran dengan warna hijau, tak peduli warna hijaunya
sedikit atau banyak, dia akan segera kabur. Sama seperti saya yang akan
menghindari kemungkinan munculnya suara yang menakutkan buat saya di sebuah
tempat dengan meninggalkannya sesegera mungkin.

Sekarang sih saya mulai bisa menenangkan diri untuk tidak begitu panik
ketika meninggalkan sumber suara yang membuat saya fobia. Chan juga sudah mulai
bisa berhadapan dengan sayuran hijau meskipun dia tidak akan memakannya. Anehnya,
saya yang fobia terhadap suara keras malah bekerja di bidang penyiaran sebagai
penyiar radio dan si Chan saat membeli pakaian akan selalu memilih warna hijau,
warna sayuran yang membuatnya fobia.
Hingga tulisan ini diterbitkan pun saya masih hidup sebagai penderita
Ligyrophobia. Walaupun saya menderita fobia semacam ini, tak membuat saya tak
bahagia, saya hidup di dalamnya seperti orang lain menjalani kehidupannya
masing-masing.