Waktu itu saya masih duduk di bangku SMP. Masih kerempeng
sekali. Dada dan pantat rata. Rambut cepak yang paling sering saya miliki sebab
ibu saya tak suka melihat saya berambut panjang dan dia akan membuat banyak
sekali cara agar saya pada akhirnya menyetujui dia memotong rambut saya.

Kulit saya masih hitam pekat. Alis memang sudah seperti
ini sejak awal. Saya tidak akan pernah melupakan malam itu. Malam saya masih
mengenakan celana super pendek berbahan tebal. Saya duduk di depan pintu, di
palang pintu bagian bawah yang akan saya balik posisinya agar saya bisa duduk
di permukaannya yang rata.
Sudah larut malam sebenarnya. Tapi saya memang diizinkan
untuk berada di depan pintu meskipun sudah malam untuk seorang anak SMP berada
di situ. Masa saya masih sangat bodoh dalam banyak hal dan merasa sudah tahu
segalanya. Jantung yang berdebar sangat kencang hanya gara-gara bertemu pandang
dengan lelaki yang saya sukai.

Begitu berbeda dengan diri saya yang sekarang. Barangkali karena
usia dan sekarang saya menjalani usia yang sudah tak remaja lagi. But I still
me, I think.

Malam itu seorang remaja lelaki, Tionghoa, sepupu tetangga
saya yang rumahnya berjarak beberapa rumah dari rumah kami. Dia membawa beberapa tangkai bunga yang
sangat saya kenali beserta ranting dan daunnya. Bisa jadi dia mencabutnya
begitu saja dari tanah. Saya tahu betul itu bunga dari rumah yang paling ujung
deretan ruko yang kami tempati.

Dia menyimpannya di belakang punggungnya seakan-akan tak
ingin saya mengetahui lebih dulu maksud dan tujuannya. Dia sempat mengucapkan
sesuatu tapi saya lupa apa yang dia katakan. Satu hal yang sangat saya ingat. Dia
memberikan bunga yang warnanya ungu tersebut pada saya dengan tangan yang
bergetar, bibir yang terbata-bata tak jelas. Saya berdebar sangat kencang
karena riang gembira.

Sejenak saya merasa surga ada di hadapan saya dan saya
benar-benar bahagia malam itu. Padahal saya tidak jatuh cinta padanya dan
sekarang pun saya tidak tahu siapa namanya.

Sumber gambar: Weheartit.com