
Seorang perempuan menatap ruangan yang dipenuhi oleh peserta seminar yang diadakan oleh ID-IRTII. Dia mulai bosan dan menggigit-gigiti pulpen yang dia pegang dengan tangan kirinya. Ia mengenakan pakaian bermotif kebangsaan. Beberapa kali ia melihat pergelangan tangannya. Ia yakin tradisi jam karet di negaranya mulai menyebalkan.
Tadi pagi, dia menyambar helm dan melarikan sepeda motornya secepat mungkin. Dia tahu dia akan terlambat karena memang berangkat lewat dari pukul 7.30 sedangkan diundangan acara tersebut tertulis acara akan diadakan di jam yang sama. Jarak dari tempat tinggalnya ke Grand Mahkota Hotel Pontianak lumayan jauh. Dua puluh menitan dia baru sampai di sana.
Setelah melewati sedemikian panjangnya jalan raya dengan kebut-kebutan di jalan dan akhirnya terdampar di ruangan yang tidak menandakan acara akan segera dimulai. Setengah jam berlalu. Satu jam. Dua jam. Dua jam setengah. Akhirnya pejabat yang terlambat mulai berdatangan.
Perempuan yang mulai tidak sabaran dengan alat perekamnya untuk mengabadikan setiap ucapan narasumber yang hadir di sana itu akhirnya sedikit tersenyum. Semua peserta terlihat menyiapkan alat tulis dan membetulkan duduknya. Tatapan perempuan itu menyentuh permadani tebal berwarna hati yang menutupi lantai.
Seorang perempuan lainnya dengan dress motif kebangsaan mulai berbicara dengan mikrofon di tangan kirinya.
“Baiklah, kita mulai dengan menyanyikan lagu…”
Sejenak wartawati yang tadinya bosan dengan acara yang terlambat sampai dua jam setengah itu terpana. Dia sama sekali tidak menyangka dia harus menyanyi. Sudah lama sekali dia tidak menyanyikan lagu itu. Hatinya menghangat. Ternyata berbeda rasanya menyanyikan lagu yang sama ketika dia masih duduk di bangku sekolah.
Dia menyelesaikan lirik terakhir dengan mata berkaca-kaca.

Hiduplah Indonesia raya…
Entah kenapa dia merasa lagu itu membuat ia ingin meneteskan air matanya. Akhirnya dia ingat. Apa pun yang ia dapatkan di negaranya, tidak peduli buruk ataupun baik. Biarpun hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Apabila buruk negaranya, sekarang tugasnya sebagai warga negara untuk menjadikan keburukan itu sebagai cambuk agar ia bisa menyumbangkan sesuatu buat negaranya. Apabila baik negaranya, haknya sebagai warga negara untuk bangga dan meningkatkan lagi prestasi Indonesia.
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Cermin Blogger Bakti Pertiwi yang diselenggarakan oleh Trio Nia, Lidya, Abdul Cholik.
Sponsored By :
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah yang baik. Semua komentar yang masuk akan dimoderasi. (admin: Honeylizious [Rohani Syawaliah]).