Assalamualaikum Abah
Saat aku menuliskan surat ini entah sudah berapa banyak air mata Umak yang kau tumpahkan ke muka bumi ini. Aku hanya ingin mengatakan padamu betapa aku membencimu karena telah menyiksa ibuku sampai tiga puluh tahun. Apakah tidak ada yang kau pelajari dalam pernikahan itu selama ini? Apakah kurang pengabdian Umak padamu?
Kurang apalagi abah?<!--more-->
Kau hanya parasit yang ongkang-ongkang kaki di rumah.
Apakah kamu masih ingat kandang kambing yang pernah menjadi rumah kita di Jawai? Apakah kamu masih ingat ‘rumah’ itu? Kandang Abah! KANDANG KAMBING!
Seandainya aku adalah malaikat pencabut nyawa aku sudah menghabisi napasmu saat itu. Saat kau memutuskan untuk menikah dengan ibuku. Dia ibuku.
Perempuan yang dengan ikhlas menjalani berbagai profesi demi menghidupi kami karena kamu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Hatiku sakit setiap kali mendengar kabar dari kampung yang mengatakan kalau kau sedang menyiksa ibuku dan saudara-saudaraku.
Apalagi Abah?
Bisakah kamu melihat ke belakang?
Tengok 30 tahun lalu. Apa yang telah engkau capai untuk membuktikan bahwa kau adalah seorang suami dan seorang ayah. Apakah tidak ada yang bisa kau lakukan? Kami tidak meminta banyak! Jangan sok diktator. Kamu bukan seorang suami atau ayah yang baik. Kamu gila Abah! Kamu adalah orang yang sangat gila.
Apa yang ada dalam kepalamu ketika memutuskan untuk mendera kami dengan semua ini? Batin umakku sangat tersiksa Abah. Dia sudah tua. Sudah sangat lelah. Ia pasti ingin bahagia di usia tuanya.
Kau tunggu Bah, aku akan mengumpulkan uang yang banyak. Aku akan menjual semua bukuku hingga aku mampu membelikan sebuah rumah untuk Umak dan saudara-saudaraku. Kami akan meninggalkanmu Abah. Tunggu hari itu. Kami tidak akan mengingatmu lagi. Cukup sudah semua siksaan itu.
Kematianmu adalah sebuah kebahagiaan buat keluargaku. Terutama buat ibuku karena dia adalah orang yang paling tersiksa dengan kehadiranmu.
Aku bersyukur sejak usia dua tahun aku tak perlu tinggal bersamamu dan sekarang aku sangat bersyukur tidak berada di Jawai lagi. Kampung itu hanya mengingatkanku padamu.
Orang yang paling tak ingin aku temui dalam hidupku.
Masih ingatkah kau Abah dengan semua perlakuanmu pada aku dan saudara-saudaraku? Aku bisa menghapus itu semua dan memaafkanmu seandainya kamu segera mati dan meninggalkan dunia ini. Aku benci kehidupanmu.
Abah, saat aku menuliskan surat ini berapa pukulan yang engkau layangkan ke tubuh perempuan yang paling aku cintai di bumi ini? Satu-satunya orang yang masih waras meskipun engkau siksa sedemikian panjang.
Seberapa banyak makian yang engkau muntahkan pada Umakku.
Apa yang telah engkau tanam, itulah yang akan engkau tuai. Tunggu saja. Kami akan meninggalkanmu sendirian di sana. Aku yakin kamu akan mati pelan-pelan tanpa uang.